Senin, 04 Juni 2012



Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti[1]

        I.      Pendahuluan
         Kehadiran ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktikkannya ekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti halnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi seorang manusia adalah suatu fitrah.
         Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak  pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
         Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendekiawan muslim terkemuka, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan peradaban dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad.
          Latar belakang para cendekiawan Muslim tersebut bukan merupakan ekonom murni. Pada masa itu, klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Mereka mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu dan mungkin faktor ini yang menyebabkan mereka melakukan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi dan bidang ilmu yang mereka tekuni sebelumnya. Pendekatan ini membuat mereka tidak memfokuskan perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata. Konsep ekonomi mereka berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat, serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
         Selama 14 abad sejarah Islam, terdapat studi yang berkesinambungan tentang berbagai isu ekonomi dalam pandangan syariah. Sebagian besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai literatur hukum Islam yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus terhadap analisis ekonomi. Sekalipun demikian, terdapat beberapa catatan para cendekiawan muslim yang telah membahas berbagai isu ekonomi tertentu secara panjang, bahkan di antaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik.   Dalam memaparkan hasil pemikiran ekonomi cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini (Adityangga, 2008). Kedua hal tersebut akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.
            Kajian terhadap perkembangan pemikiran ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Hal ini memiliki arti yang sangat penting terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Tulisan ini bermaksud mengkaji pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf. Oleh karena itu kerangka dasar  yang digunakan adalah metodologi atau pendekatan studi pemikiran seorang tokoh. Dalam menelaah pemikiran tokoh, terdapat beberapa hal yang harus dicermati sebagai berikut:
1)      Pemikiran seorang tokoh dapat dilihat dari sikap, tanggapan, ucapan, tulisan, dan perilakunya.
2)      Pemikiran merupakan kegiatan dalam pikiran seseorang (mind) yang            hanya dapat dilacak setelah dimanifestasikan.
3)      Dalam berpikir, manusia dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal.
4)      Kondisi internal berupa nilai-nilai yang berasal dari pemikir tersebut, seperti agama, keyakinan yang dianutnya, ideologi, disposisi kepribadiannya, subjektivitasnya, respon pemikirannya.
5)      Kondisi eksternal berupa lingkungan domestiknya dan  internasional           dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, dan lain sebagainya (Brinton, 1980: 15).
Terdapat dua metode ( metodologi/pendekatan/approach ) yang dapat digunakan untuk mengetahui pemikiran seseorang, adalah:
  1. Metode Subjektif, yaitu penelahaan terhadap pemikirnya dan bagaimana ia menghasilkan pemikirannya tersebut.
  2. Metode Objektif, yaitu penelaahan terhadap hasil pemikirannya dan bagaimana pergumulannya dengan lingkungan sekitarnya
  3. Kombinasi Metode Subjektif dan Objektif  (Brinton, 1980: 15).
      Berdasarkan kepada ketiga metode tersebut, tulisan ini menggunakan
kombinasi metode subjektif dan objektif dalam mengkaji pemikiran  Abu Yusuf. Sehingga dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah:
1)      Menguak pemikiran tokoh tersebut sebagaimana terekam dalam karya-        karya tulisnya.
2)      Dikaji pula biografi tokoh tersebut.
3)      Memahami korelasi antara ide-ide yng tertuang dalam karya-karyanya dengan aktivitas kesehariannya/keilmuannya (Syari’ati, 1979: 39-69).
Berdasar kerangka tersebut, artikel ini berusaha mengeksplorasi biografi Abu Yusuf, kondisi sosial ekonomi masa Abu Yusuf hidup, pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf, studi kritis pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf, serta aktualisasi pemikirannya.

     II.      Sketsa Biografi Abu Yusuf
Abu Yusuf, yang dalam literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshori al-Jalbi al-Kufi al-Baghdadi lahir pada tahun 113 H / 731 /732 M di Kufah dan pernah tinggal di Bagdad, serta meninggal pada tahun 182 H / 798 M (Al Maraghi, 2001: 77, Al Baghdadi, tt: 329-338). Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshor (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad SAW) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud (W.32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW (Al Maraghi, 2001: 77, Al Baghdadi, tt: 329-338).
Secara historis dapat diketahui, Abu Yusuf hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar dalam Islam, yaitu pada akhir kekuasaan Bani umayyah di Damascus dan Masa Bani Abbasiyah. Hal ini ditandai dengan adanya persaingan perebutan kekuasaan di kalangan anggota-anggota dinasti Umayyah dengan kemewahan di istana yang telah membawa dinasti ini kepada kelemahan yang pada gilirannya membawa pada kehancuran pada tahun 750 M (K.Hitti, 1970: 281, Lewis, 1988: 73, Nasution, 1985: 67). Ketika itu muncullah kelompok dari Bani Hasyim, sebagai saingan politik Bani Umayyah memperebutkan jabatan Khalifah atau pemerintahan umat Islam. Gerakan oposisi ini dipelopori oleh Abu al-Abbas ibnu Abdul al-Muthalib Ibnu Hasyim, kesatuannya berhasil membunuh Khalifah Marwan II, yaitu khalifah terakhir Bani Umayyah (Dewan, 1993: 135).
Dalam perjalanan pendidikannya, Abu Yusuf menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Antara lain Jalil ‘Atho' bin al-Sya’bi seorang tabi'in senior ahli di bidang fiqh dan hadis, al-A'masy yang nama lengkapnya Sulaiman bin Mahran , Hisyam ibn Urwah al-Asadi al-Madani beliau adalah ulama hadis yang sangat terkenal pada masanyaserta termasuk kedalam thobaqat para Tabiin yang banyak melahirkan murid terutama para ulama Hijaz seperti al-Zuhri Imam Malik dan lainnya , Abu Ishaq asy-Syaibani, Sofyan al-Tsauri seorang imam yang ahli dalam bidang hadis, beliau juga salah seorang mujtahid besar yang mempunyai pengikut dan pengaruh yang amat besar, Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abi Laila, beliau dikenal sebagai mujtahid yang berpegang kepada ra’yu dan pernah menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun, yaitu sejak masa Bani Umayyah sampai beberapa masa pada daulat Bani Abbasiyyah. Selain itu juga tokoh seperti Sulaiman al-Tamimi dan Yahya Ibnu Said. Masing-masing ulama besar tersebut sempat menjadi tempat Abu Yusuf menimba ilmu pengetahuan ( Azis, 1997: 16).
Fenomena ini mengindikasikan minat Abu Yusuf yang kuat terhadap ilmu pengetahuan sejak kecil. Kecenderungan tersebut selalu memacu beliau untuk lebih giat menimba ilmu pengetahuan dari beberapa tokoh yang hidup pada masanya dan hal ini pula yang mendorongnya untuk menekuni beberapa kajian, terutama dalam kajian-kajian hadis, meskipun dalam perjalanan pendidikannya harus bekerja mencari nafkah karena kelemahan ekonomi orang tuanya. Kemudian Abu Yusuf tertarik untuk mendalami ilmu fiqh bersama gurunya Ibnu Abi Laila (W.148 H) (Azis, 1997: 16).        
Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan mazhab Hanafi ke berbagai penjuru. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan Abu Hanifah bahwa, Abu Yusuf adalah seorang yang sangat kuat hafalan dan ilmunya. Tidak ada lagi seorangpun di seluruh dunia yang lebih luas  ilmu fiqhnya dari Abu Yusuf. Ungkapan tersebut memberi gambaran bahwa sekiranya Abu Hanifah tidak mempunyai murid selain Abu Yusuf niscaya ia telah cukup untuk menjadi kebanggaan besar bagi manusia (Azis, 1997: 16-17).
Dilihat pada aspek kajian pendidikannya Abu Yusuf mempunyai kaitan erat dengan pemikiran fiqh Ibnu Abi Laila sebagai guru dan murid. Namun pada tataran praktis lebih didominasi oleh corak pemikiran Abu Hanifah dalam pandangannya. Dominasi ini bukan hanya karena keterkaitannya dengan Abu Hanifah sebagai sahabat, murid dan guru, tetapi juga karena corak pemikiran masyarakat saat itu yang didominasi oleh  pemikiran  Abu Hanifah. Selain itu terdapat motivasi yang kuat dan khusus dari Abu Hanifah sendiri kepada beliau agar menyebarluaskan Mazhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai tangan kanan Abu Hanifah (Al Junaidal, 1406 H: 129).
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Abu Hanifah selama 16 tahun dan masih berkomitmen untuk tidak berkomunikasi dengan jabatan pemerintahan terutama jabatan kehakiman, seperti prinsip Abu Hanifah. Di samping belajar dan mengajar, Abu Yusuf giat menyusun buku-buku yang membahas ilmu fiqh, yang merupakan buku pertama yang beredar pada saat itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku fiqh Abu Yusuf dan pemikiran Mazhab Hanafi menguasai alam pikiran umat Islam, termasuk keputusan para ulama di lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi pada saat itu.  Fenomena ini berimplikasi kepada tersebarnya nama besar Abu Yusuf seiring dengan tersebarnya Mazhab Hanafi (Azis, 1997: 16).
Meskipun beliau sering disebut sebagai murid dan pengikut Mazhab Hanafi, tetapi independensi pemikiran sangat dijaga dalam berfatwa dan berijtihad. Sehingga dalam karya-karyanya, Abu Yusuf sering mengutip kemudian  mengkritisi pemikiran Abu Hanifah serta menampilkan pemikirannya sendiri yang disertai argumentasinya. Bahkan sering pula pendapat Abu Yusuf berseberangan dengan pendapat Abu Hanifah. Oleh karena itu Abu Yusuf dibahasakan sebagai seorang Imam, karena kepiawaiannya dalam menetapkan hukum dan luasnya kapasitas ilmu yang dimiliki. Terlebih lagi bila dilihat peran dan fungsinya dalam mengembangkan hukum dengan menggunakan beberapa perangkat metodologi yang terinspirasi dari Abu Hanifah.
Pada tahun 166 H / 782 M, Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Bagdad. Hal ini dilakukan karena kondisi perekonomiannya tidak mendukung dalam menunjang karier keilmuannya. Sehingga Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H / 775 M – 169 H / 785 M ) yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Bagdad timur. Panggilan populernya adalah Qadi al-Qudah (hakim agung) yaitu jabatan yang disandangnya pada masa kekuasaan khalifah Harun al-Rasyid (170 H / 786 M -194 H /  809 M) sebagai ketua para hakim yang pertama di masa daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah (abad ke-7) sampai masa Khalifah al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8). Jabatan ini pantas diberikan kepadanya karena ilmunya luas, kepribadiannya sangat disukai Khalifah Harun ar-Rasyid. Tentang Abu Yusuf Harun ar-Rasyid menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu fiqh, memiliki kepribadian ilmiah yang teguh dan konsisten.
Abu Yusuf dan beberapa orang murid Abu Hanifah lainnya terus menyebarkan fiqh mazhab Hanafi ini sampai akhir hayatnya, sehingga mereka juga dikenal mempunyai murid sebagai penyambung mata rantai dari generasi ke generasi yang belakangan terkenal melahirkan tokoh yang memperkenalkan metode pemikiran fiqh mahzab Hanafi seperti Abu Hasan al-Karakhi (w.340 H), yang menyusun kitab al-Ushul, Abu Bakar al-Razi (w.380 H), yang sering disebut al-Jassas dan menyusun kitab Ushul Fiqh ’Ulu al-Jassas, Zaid al-Dabus, al-Bazdawi, al-Syahisi, al-Humam dan lainnya (Khudori Bik, 1939: 200-202; Zahrah, tt: 130-131).
         Pengembaraan intelektual Abu Yusuf telah menempatkan beliau pada posisi sebagai seorang tokoh ilmuwan yang fenomenal. Hal ini tidak hanya dikarenakan corak berpikirnya yang cukup maju tetapi beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara pada masa tersebut. Adapun karya-karya beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan kehidupan sosial dan agama adalah kitab al-Atsar, kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila, kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, kitab Adabu al-Qodhi, kitab al-Maharij fi al-Haili dan kitab al-Kharaj (Al-Junaidal, 1406 H: 132-134, Dahlan, 1996: 17).
         Kitab al-Kharaj (Yusuf, 1302 H) ini merupakan kitab Abu Yusuf yang paling utama dan terkenal, sehingga mengalahkan kemasyhuran beberapa kitab beliau yang lain. Selain kitab ini memuat tentang permasalahan yang terkait dengan fenomena sosial,  kitab ini juga sebagai referensi dalam penentuan kebijakan perekonomian pada masa dinasti Abbasiyah, terutama sejak di bawah pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang mampu memajukan ekonomi, perdagangan dan pertanian dengan sistem irigasi. Dengan kitab ini para tokoh dan ulama masa itu menobatkan sebagai tokoh ekonomi muslim klasik (Dewan, 1993: 88).
         Menurut Ibnu Nadim (w.386 H/995 H) seorang tokoh sejarawan dan ulama mazhab Hanafiyah, Abu Yusuf juga menulis kitab-kitab yang lain seperti, as-Sholah, al-Zakah, al-Shiyam, al-Bai’, al-Fara’id, al-Wasiyyah dan lain-lain. Namun beberapa kitab dan tulisan-tulisan beliau lainnya sebagian masih berupa manuskrip-manuskrip dan sebagian lagi ada yang berbentuk naskah yang sulit untuk dilacak bagian-bagiannya secara sempurna (Azis, 1996: 16-17).

  III.      Kondisi Sosial Ekonomi
            Berdasarkan seting sosial kehidupan Abu Yusuf, beliau hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan dalam Islam, yaitu pada akhir kekuasaan Bani Umayyah dan kekuasaan Bani Abbasiyah. Secara historis Dinasti Abbasiyah eksis setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan dinasti Bani Umayyah di Damascus yang diakhiri dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II (Katsir, 1993: 31). Dengan demikian Abdul Abbas yang keturunan Abbasiyah memproklamirkan diri sebagai Khalifah Dinasti Abbasiyah I dengan gelar Saffah (Lewis, 1994: 75).
            Terhadap pemberontakan yang terjadi pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah ini menurut Stephen Humprey (Humprey, 1991: 104) selain dari adanya perbedaan antara muslim dan non muslim suatu hal yang lebih krusial adalah adanya pengabaian terhadap kelompok ekonomi yang merupakan faktor penting dalam sistem produksi dan distribusi.  Sedangkan menurut William Muir (Muir, 1984: 465), masa ini adalah masa peralihan dari pemerintahan Umayyah yang berkesan keras, ke arah pemerintahan Abbasiyah yang lembut dan makmur.
            Kemakmuran tersebut dibuktikan dengan meningkatnya kesejahteraan negara dan rakyat terutama pemerintahan Harun ar-Rasyid. Beliau memajukan perekonomian, perdagangan dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan pada sektor-sektor ini menjadikan Bagdad _ibukota pemerintahan Bani Abbas_ sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu,dengan pertukaran barang-barang dan valuta dari berbagai penjuru. Negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan perdagangan tersebut ditambah pula perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.            
            Dari beberapa pendapatan tersebut negara mampu membiayai pembangunan sektor-sektor lain seperti pembangunan kota Bagdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian. Selain itu negara mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Kemudian negara juga memberikan insentif yang tinggi kepada ulama dan ilmuwan yang mempunyai tulisan atau karya imiah serta hasil penemuan. Dalam analisis historis masa ini ditetapkan sebagai puncak kejayaan Islam atau sering disebut zaman keemasan Islam (The Golden Age of Islam) (Dewan, 1993: 89; Lombard, 1975).
            Pada masa Harun al-Rasyid inilah Abu Yusuf mencapai puncak kariernya dalam jabatan kenegaraan, dengan diangkatnya beliau sebagai Qadhi Qudhat (Ketua Mahkamah Agung).        Namun pada sisi lain karakter politik dan gaya pemerintahan belum memberikan perubahan yang mendasar dari pemerintahan sebelumnya. Sebab gaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah secara keseluruhan masih memberi kesan kekuasaan mutlak dan bersifat tidak terbatas. (Hodgson, 2002: 63-66). Terlepas dari beberapa analisis karakteristik penguasa Dinasti Abbasiyah yang dalam beberapa aspek telah memberi kesan absolutisme tersebut, dinasti ini telah memberikan kontribusi kegemilangan pada peradaban muslim di semua aspek kehidupan.
            Terkait dengan Abu Yusuf, kajian sosial ekonomi menjadi urgen dipaparkan, dalam upaya pemetaan dan memposisikan pemikiran Abu Yusuf di tengah  gejolak perekonomian masyarakat Abbasiyah, yang beliau sendiri ikut berperan dalam menyulut dinamika perekonomiannya. Selain itu sebagai upaya untuk melihat dalam posisi apa dan kondisi bagaimana kitab al-Kharaj _yang menjadi referensi  sebagian besar perekonomian kerajaan_ ditulis.
            Sejarah telah mencatat bahwa masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan dalam bidang sosial ekonomi. Hal ini terlihat dari stabilitas kondisi perekonomian negara dan masyarakat yang menjadikan kota Bagdad sebagai lalu-lintas perdagangan antarnegara. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan terkumpulnya beberapa bekas wilayah kekuasaan besar seperti Bizantium dan kekaisaran Sasaniah ke dalam satu wilayah Abbasiyah di bawah kekuasaan tunggal  Khalifah.
            Kondisi ini memberi implikasi positif terhadap pertumbuhan perekonomian negara yang dapat membawa Bagdad sebagai pusat perekonomian yang sangat besar dan mampu menyediakan segala bentuk kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa. Selain itu aktivitas masyarakat di bidang ekonomipun berjalan lancar seperti, penyediaan segala bentuk sumber-sumber ekonomi dalam sektor pertanian, industri, perdagangan, jasa transportasi, kerajinan dan pertambangan (Dewan, 1993: 88).
            Beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah, memiliki tanah dan lahan yang sangat subur, seperti irak dan Mesir yang kondisi geografisnya mempunyai banyak oase dan irigasi. Sementara pada dataran Afrika juga terkenal sebagai wilayah penghasil gandum dan minyak. Sedangkan Armenia , Afrika Utara, Spanyol, Sudan, Asia Tengah, dan Afrika Tengah terkenal dengan penghasilan tambang seperti emas, perak dan lainnya. Selain itu di wilayah lain seperti Iran, Syria dan Mesir penduduknya terkenal sangat kreatif  dengan kerajinan tangannya (Dewan, 1993: 88).
             Fenomena kemajuan ekonomi lainnya adalah adanya pelabuhan besar seperti Teluk Persia dan laut merah yang membuka jalan menuju lautan India  dan pelabuhan Syria serta Mesir yang dikenal dengan Alexandria, serta pelabuhan Sisilia  dan Gibraltar  yang menjadi lalu lintas menuju Eropa telah membuka aktivitas perdagangan antara timur dan barat, sehingga aktivitas perdagangan ekspor dan impor berlangsung dengan lancar (Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47). Realitas tersebut membuktikan bahwa aktivitas ekonomi dan perdagangan pada masa Abbasiyah tidak hanya terbatas pada wilayah kekhalifahan saja, tetapi  juga mencakup wilayah kawasan di luar kekuasaan Islam, bahkan sampai ke Cina. Kemajuan ekonomi masa Abbasiyah ini tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung di antaranya terlihat kondisi relatif politik dan pemerintahan yang kondusif.
            Selain itu pemerintahan Abbasiyah tidak cenderung membuka pembebasan wilayah baru karena fokus pengembangan lebih ditekankan pada kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam semua sektor. Besarnya arus permintaan (demand) bagi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, yang berimplikasi pada peningkatan kuantitas persediaan (supply) barang dan jasa juga turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk terutama di wilayah perkotaan yang menjadi basis pertukaran aneka macam komoditas komersial (Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47).
            Di samping itu luasnya wilayah kekuasan Dinasti Abbasiyah dan wilayah bekas jajahan Persia dan Bizantium juga telah mendorong perputaran dan pertukaran kebutuhan komoditas, dengan didukung jalur transportasi laut yang  mendukung kelancaran pengiriman barang antarwilayah. Namun lebih penting dari itu semua adalah etos ekonomi para Khalifah dan pelaku ekonomi dari golongan arab yang tidak diragukan lagi (Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47).
                Dibalik pertumbuhan ekonomi yang dicapai Dinasti Abbasiyah, terdapat problem krusial yang menjadi tantangan stabilitas dan masa depan perekonomian dinasti tersebut. Kurang harmonisnya relasi antara pemerintah dan tokoh agama pada masa awal Islam, menjadi suatu hambatan dalam perkembangan dinamika ekonomi dan sosialisasi pemahaman hukum pada masa generasi pertama. Kondisi tersebut terjadi juga pada beberapa masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah sampai akhir generasi Bani Abbasiyah. Pada masa tersebut para ulama yang tidak sependapat dengan para penguasa selalu disisihkan, bahkan tidak sedikit dari kalangan mereka yang harus mendekam dalam tahanan penjara (Amin, 1974: 184; Zaidan, tt: 328-329).
            Tetapi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, kesenjangan tersebut tidak begitu terlihat, karena hubungan antara Khalifah Harun al-Rasyid sangat harmonis dengan Abu Yusuf sebagai ulama yang menerima tawaran jabatan Hakim pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Qadhi Qudhat pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Namun hal itu tidak berlaku secara umum, karena  sikap egoistik penguasa dengan sistem pemerintahan yang absolut sering kali memberi kesan apriori dan sangat sensitif  terhadap muatan saran dan kritik yang dinilai tidak sependapat dengan cara pandang penguasa.
            Kesenjangan tersebut memberi pengaruh negatif terhadap hubungan baik antara masyarakat, ulama dan penguasa. Di satu sisi penguasa berkewajiban untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat dan negara, namun beberapa kebijakan yang ditetapkan sangat rentan terhadap penindasan kaum lemah dan cenderung lebih banyak perhatian terhadap kelompok penguasa dan keluarga istana. Kondisi tersebut melahirkan krisis nilai etis dan moral keadilan yang berimplikasi kepada instabilitas ekonomi, budaya korupsi,kehidupan mewah para penguasa, kultus pemujaan terhadap kaum istana dan eksploitasi agama untuk kepentingan pribadi penguasa. Sehingga seringkali melahirkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada kelompok kecil. Seperti penarikan pajak  tanpa adanya  pertimbangan nilai-nilai etika moral dan asas keseimbangan.
            Sebagai seorang ulama yang mempunyai jabatan strategis di dalam sistem pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, beliau menjadikan fenomena non dialogis antara masyarakat, penguasa dan ulama tersebut sebagai pelajaran untuk memunculkan suatu ide pembenahan terhadap sistem pemerintahan dan budaya masyarakat yang dianggap telah merambah ke arah krisis etika tersebut. Kegelisahan Abu Yusuf itu termuat dalam ungkapan surat panjang yang ditujukan kepada Khalifah Harun al-Rasyid dalam upaya membenahi sistem ekonomi pemerintahan untuk tidak menindas nilai-nilai etika dan mengedepankan asas-asas keseimbangan. Beberapa point pokok dalam surat tersebut sempat menjadi diskusi panjang antara Khalifah Harun al-Rasyid  dan Abu Yusuf terutama dalam hal yang berkaitan erat dengan income dan expenditure negara serta beberapa hal yang terkait dengan mekanisme pasar (Yusuf, 1302 H; Majid, 2003: 75).
           
  IV.      Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Abu Yusuf adalah orang pertama kali memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-kharaj. Kitab ini, ditulis atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid, ketika dia ingin mengatur sistem Bait al-mal, sumber pendapatan negara  seperti al-kharaj, al-'usyur, dan al-jizyah dan cara pendistribusiannya, dan untuk menghindari manipulasi, kedzaliman, serta untuk mewujudkan kepentingan penguasa (Al Junaidal, tt: 139).
            Muatan konseptual al-Kharaj dan visi strategisnya terhadap kebijakan sumber pendapatan negara mencerminkan keunggulan akademik Abu Yusuf dalam bidang ekonomi, dan pengalamannya menjabat sebagai hakim agung. Interaksinya dengan penguasa dari satu sisi, dan kepakarannya dalam ilmu fiqh dari sisi lain, telah menempatkan kitab al-kharaj sebagai karya monumental dan komprehensif.           Keberadaan kitab al-kharaj juga mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation (Karim, 2001; Asmuni, 2005: 118).
            Al-Kharaj buah karya Abu Yusuf yang menjadi panduan manual perpajakan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, sebenarnya memiliki berbagai versi percetakan. Yang tertua di antaranya adalah edisi Bulaq yang dicetak pada tahun 1302 H / 1885 M, dan tidak memiliki kelengkapan editorial. Setelah itu Salafiah Press menerbitkan kembali satu edisi, dan sempat mengalami beberapa kali cetakan ulang  yang memuat isi dan hadis yang sama. Pada edisi ini hanya memberi kesan tampilan perbedaan halamannya saja. Sehingga tidak salah bila diduga edisi ini bersumber pada bahan dan manuskrip yang sama. Pada edisi Salafiyah Press sebagian memiliki editorial namun hanya sebagian kecil saja. Sementara edisi yang lengkap tentang kitab al-Kharaj ini  terdapat dalam satu komentar yang diberi judul Fiqhu al-Mulk wa miftah al-Ritaj yang ditulis oleh Abul Aziz bin Muhammad  al-Rahbi (W. 1194 H) (Majid, 2003: 33-34).
            Tulisan tersebut kemudian di edit oleh A.U.Kabishi yang telah meletakkan kitab al-Kharaj dalam beberapa komentar serta membuat perbedaannya secara sistematis dengan edisi Rahbi, edisi ini terdapat dalam dua manuskrip yang kemudian dicetak dengan hasil yang sangat memuaskan. Selain itu juga ada teks yang dicetak dan diedit oleh Ikhsan Abbas, namun tidak membuahkan hasil yang lebih baik dari edisi Kabishi tersebut (Majid, 2003: 33-34). Tetapi yang digunakan sebagai referensi tulisan ini adalah edisi yang dicetak pada tahun 1302 H, diterbitkan oleh Daru al-Maa’rifah li al-Thabi’ah di Bairut Libanon, yang memuat materi dan hadis yang sama dengan edisi Bulaq.
            Kitab al-Kharaj ini memuat beberapa tulisan yang dimulai dari nasehat dan wejangan yang dialamatkan Abu Yusuf kepada Amiru al-Mu’minin dan putera mahkota, yang isinya tentang nasehat umum yang diikuti dengan sejumlah hadis yang mayoritas dikategorikan sebagai hadis-hadis marfu’. Setelah memberi nasehat panjang lebar kepada Khalifah dan putera mahkota, kemudian Abu Yusuf memaparkan pemikirannya tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi, rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah, pajak-pajak hasil pertanian, kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak dengan istilah Kharaj yang kemudian menghasilkan beberapa istilah seperti ’Ushr, Zakat, atau shadaqah  (Yusuf, 1302: 4).
             Kitab al-Kharaj tersebut didominasi pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi. Hal ini terlihat dari pembahasan selanjutnya tentang jizyah yang hanya diberlakukan untuk orang-orang non muslim serta pembahasan mengenai status sosial, hak dan kewajiban penduduk non muslim di negara Islam, selain itu  pada bagian akhir membahas hudud, gaji pegawai pemerintah, fiskal, devisa negara, kesejahteraan non muslim dan lain sebagainya (Al-Kaaf, 2002: 149; Yusuf,1302: 28, 42, 94, 69, 117, 128).  
            Kitab karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharaj, didasarkan kepada pemilihan persoalan mayoritas yang dibahas dalam kitab tersebut yaitu pajak, jizyah, serta terinspirasi dari penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan tentang administrasi pemerintahan. Selain itu kharaj diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. ada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi (Al-Kaaf, 2002: 149).
            Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang menentang pengendalian dan penetapan harga (tas’ir) oleh pemerintah. Pada zaman Abu Yusuf asumsi yang berkembang adalah, apabila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka harga akan murah.  Tetapi beliau menolak asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand) (Habib, 2004: 10).
            Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan akan barang. Menurut Abu Yusuf ada variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf tinggi rendahnya harga adalah bagian dari ketentuan Allah, manusia tidak dapat intervensi atas urusan dan ketetapanNya (Habib, 2004: 10; Al-Duri, 1394 H).
            Dapat dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam al-kharaj karya Abu Yusuf, dan juga belum dikenal di dunia Barat sampai beberapa abad pasca Abu Yusuf. Kegiatan perekonomian, menurut Abu Yusuf merupakan fenomena yang selalu berubah-ubah (zawahir tsanawiyah) dan  bersumber dari aktivitas kolektif masyarakat muslim. Faktor-faktor yang mempercepat kegiatan perekonomian tidak sama dari segi tingkat kepentingan dan kekuatannya. Pertama, mewujudkan undang-undang tertinggi yang dengannya dapat memerintah dengan pertolongan Tuhan. Kedua, usaha untuk memenuhi kebutuhan material dan keinginan-keinginan lainnya. Ketiga, inisiatif atau keinginan penguasa (Dahlan, 1996: 18).
 Oleh karena itu, menurut Abu Yusuf, fenomena prekonomian tidak selalu berhubungan secara langsung dengan sebab akibat (undang-undang tentang perekonomian). Hubungan biasanya bersifat tidak langsung karena melalui kehendak tertinggi, atau kehendak wakil Tuhan di permukaan bumi dalam bentuk masyarakat muslim, penguasa atau lainnya. Para khalifah Tuhan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan berkaitan dengan sejumlah fenomena-fenomena perekonomian seperti perbaikan tanah dan lain-lain. Tentang keuangan Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik Khalifah dan Sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya, yang harus dijaga dengan penuh tanggungjawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya (Dahlan, 1996: 18).
Menurut Abu Yusuf, sumber ekonomi berada pada dua tingkatan: tingkat pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan melakukan produksi secara mandiri. Tingkatan kedua tenaga kerja. Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.       Sebetulnya produksi dalam pengertian membuat barang baku (setengah jadi) menjadi produk final melalui kerja, tidak banyak menarik perhatian Abu Yusuf termasuk pada proses permulaan seperti  menghidupkan tanah mati (Ihya’ al-Mawaat) dan tidak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut (Habib, 2004: 10).
Menurut Abu Yusuf elemen dalam perekonomian adalah Al-musytarakat al-diniyah (komunitas yang menganut agama samawi dan agama ardhi), dan musytarakat al-mudun atau komunitas masyarakat perkotaan dan pedesaan atau komunitas masyarakat dagang. Komunitas jenis pertama terbentuk dari unsur agama, dan komunitas jenis kedua membentuk pusat kekuasaan pemimpin. Kedua jenis  komunitas tersebut mempersatukan, atau minimalnya mempererat hubungan antara semua unsur atau elemen prekonomian tersebut (Asmuni, 2005: 5).      
Pada masa Abu Yusuf misalnya penduduk satu desa atau kota memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri dari sektor produk pertanian dan kerajinan dan tidak mengantungkan diri pada barang-barang impor kecuali untuk pelengkap. Demikian pula kesatuan sektor pajak karena penduduknya konsisten untuk bersolidaritas dan untuk saling menjamin dalam mengeluarkan nominal pajak dalam setahun baik dalam bentuk barang atau uang. Terakhir kesatuan administrasi, artinya administrasi pemerintahan pusat tidak melakukan interaksi dengan masing-masing individu melainkan secara kolektif sebagai satu kesatuan melalui tokoh desa (syaikh al-qoryah) atau pemimpin desa (Sa’ad, 1979).
                Adapun mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas sosial tidak dibahas oleh Abu Yusuf. Diskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf, mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara umat Islam dengan kaum zimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam dengan komunitas non muslim dalam Dar al-harb. Dalam hubungan model pertama pendapatan bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model kedua, pendapatan bersumber dari al-ganimah yang sebagiannya didistribusikan untuk Bait al-mal. Selain itu, pemerintah juga menarik bea cukai dari pedagang kafir harbi atas barang dagangan mereka yang masuk ke negara Islam. Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka sesama muslim yang membutuhkan (Yusuf, 1302 H: 122).
Abu Yusuf juga mengenalkan konsep perdagangan luar negeri, yang secara implisit diberi istilah tabadul. Pemahaman fleksibilitas dibangun Abu Yusuf dengan melahirkan sikap toleran dengan kesepakatan damai dalam hubungan perdagangan internasional. Kesepakatan tersebut adalah jaminan keamanan berkala per empat bulan dengan pembaharuan apabila perdagangan mereka belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan. Serta diperbolehkan tinggal di Dar al-Islam dengan status sebagai ahli zimmi (Al Mawardi, tt: 291-292).
Dalam melakukan restrukturisasi sistem perekonomian negara Bagdad, ada beberapa mekanisme yang dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu,
a)      Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem Muqasamah
            Istilah wazifah dan istilah muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak. Sistem wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional (Yusuf,1302: 48).
b)     Membangun pemahaman fleksibilitas sosial
            Meskipun hukum Islam hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh, secara bersamaan kaum non muslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila mereka diijinkan untuk memasuki wilayah Dar al-Islam. Seorang muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam,dan menikmati hak-hak kewargaannegaranya secara penuh. Namun di balik itu setiap warga negara akan menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka masing-masin. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Musta’min, dan kelompok Zimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah masyarakatnya dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya. (Al Mawardi, tt: 252).


c)      Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan
            Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendiskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fay’ sebagai pemasukan yang sifatnya insidental revenue, sedangkan kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi interpretasi yang jelas tentang aturan al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 41 yang artinya:
”....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir..”.

Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini di kalangan para ahli fiqh terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharaj Abu Yusuf seperlima tersebut menurut:
”Riwayat Qais Bin mUslim yang diriwayatkan dari Hasan Bin Muhammad Bin Hanafiyah, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk Nabi (Para Khalifah penggantinya setelah beliau wafat), untuk keluarga terdekat, dan untuk kelompok anak yatim, fakir miskin dan musafir” (Yusuf, 1302: 21).

                Dari sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf, akan terlihat dari empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit, sedangkan seperlimanya disimpan pada bendahara umat atau Baitu al-Mal  untuk kepentingan umat. Hal ini sesuai dengan ajaran al-Qur’an surat al-Anfal ayat 41 yang mengatur tentang distribusi harta rampasan perang tersebut. Melihat beberapa pertimbangan yang lebih mengacu kepada kebijakan umar yang berlandaskan ayat di atas, Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj memaparkan tentang distribusi harta ini dengan menjelaskan perwujudan dari alokasi anggaran, maka interpretasi dari tindakan tersebut, merupakan implementasi dari asas transparansi sistem dan politik ekonomi yang melingkupi beberapa aspek, seperti transparansi terhadap tentara sebagai keamanan negara, gaji pegawai, perbaikan masjid, lampu penerang, serta beberapa kepentingan lain yang sifatnya maslahah ’ammah (Yusuf, 1302: 19-20).


d)     Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
            Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
Diriwayatkan gari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin ’Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi, maka sebagian masyarakat pernah mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata: tinggi dan rendahnya harga barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut.” (Yusuf,1302: 87).


            Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi (teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan berpengaruh terhadap harga.
            Dari pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab al-Kharaj dapat disimpulkan meliputi beberapa bidang sebagai berikut:
1)      Tentang pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah SWT. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat populer  yaitu tasharruf al-imam ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah  (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan )
2)      Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah SWT  dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya.
3)      Pertanahan, Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyat dihormati, tidak boleh diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
4)      Perpajakan, Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.
5)      Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan (Dahlan, 1996: 18).

     V.      Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
                Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi, selain Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf (Al Junaidal, 1406 H: II/131).
                Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode:  Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus riel, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf  (tradisi masyarakat yang baik) (Al Junaidal, 1406 H: II/131).
          Dalam bidang ekonomi, terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban atas proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan persoalan-persoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa itu. Jawaban atas semua persoalan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja’far yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).
            Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan  teks hadis. Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja’far.  Dalam hal ini Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah) asalkan relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).

      
  VI.      Penutup
            Dari deskripsi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang pemikiran ekonomi Islam AbuYusuf. Secara garis besar terdapat  agenda yang dilakukan Abu Yusuf dalam merestrukturisasi sistem ekonomi di negara  Bagdad pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Ketiga agenda tersebut adalah:
1)      Menggantikan sistem wazifah dengan sistem Muqasamah
Istilah wazifah dan istilah muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak. Sistem wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional.
2)      Membangun pemahaman fleksibilitas sosial
Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Musta’min, dan kelompok Zimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah masyarakatnya dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya
3)      Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan
Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendiskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fay’ sebagai pemasukan yang sifatnya insidental revenue, sedangkan kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi interpretasi yang jelas tentang aturan al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 41.
4)      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Duri al Qahthan. 1394 H/1974 M. al-Ihtikar wa Asaruhu fi al-Fiqh al-Isllami. Cet. I. Bagdad: Mathba'ah al-Ummah.

Adityangga, Krishna. Latar Belakang Kemunculan Ekonomi Islam tersedia di   http://adityangga.wordpress.com/2007/10/09/lingkup-bahasan-dan-urgensi-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam/ yang direkam pada 12 Feb 2008 06:38:15 GMT.

Al Baghdadi, Al Khatib. tt. Tarikh al-Baghdad. jilid XIII. Beirut: Dar al-Fikri.

Amin, Ahmad. 1974. Duha al-Islam. cet.VIII, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-     Misriyyah.

Abu Zahrah, Muhammad. tanpa tahun. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Kairo:     Dar al-Fikr al-Arabi.

Ahmad, Khursid (ed). Studies in Islamic Economics. Jeddah: The Islamic   Foundation.

Al Husyairi, Ahmad. 1407 H/1986 M. al-Siyasah al-Iqtishadiyah wa al-Nuzum al- Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. Cet. I.

Al-Junaidal, Hamad Abdurrahman. 1406 H. Manahijul bahisin fi al-iqtishad al-      islami, Syarikah al-'Ubaikan lit-thoba'ati wa al-Nasyr.

Al-Kaaf, Abdullah Zakiy. 2002. Ekonomi Dalam Perspektif Islam. Bandung:         Pustaka Setia.

Al-Maraghi, Abdullah Mustafa. Fathu al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin. Terj. Husein Muhammad. 2001. Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Cet.I, Yogyakarta: LKPSM.

Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (ed) Bonn.

Asmuni Mth. 2005. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Ibn Adam: Eksplorasi        awal tentang konsep sumber keuangan Negara. Dalam MILLAH Jurnal    Studi Agama. Vol.IV.No.2. Januari.

Brinton, Crane. dalam F.Iswara. 1980. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta.

Dahlan, Abdul Azis. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. jilid 1-3. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.

Dewan Redaksi, 1993. Ensiklopedi Islam. jilid 2-3-5. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van             Hoeve.

Habib, Hassanuddin Nazis. 2004. Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan Syariah.   Jakarta: Kaki Langit.

Humprey, Stephen. 1991. Islamic History: A Frame work for inquiry. New Jersey:             Princeton University Press.

Hodgson, Marshal GS. 2002. The Venture of Islam. terjemahan Mulyadi     Kertanegara, “The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dan Peradaban       Dunia”.

Ibn Salam, Abu 'Ubaid al-Qosim. 1353 H. al-Amwal. tahqiq Muhammad Hamid    al-Faqy. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah.

Ibn Adam, Yahya. 1979. Kitab al-Kharaj, tahqih Ahmad Muhammad Syakir,        Beirut Dar al-Ma’rifah.

Katsir, Ibnu.1993. al-Bidayah wa al-Nihayah,jilid V. Beirut:Dar al-Fikr.

Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:        IIIT.

Khudori Bik, Ahmad. 1939. Tarikh al-Tasyrial-Islami. cet.v. Kairo: Matba’ah al-   Istiqomah.

K.Hitti, Phillip. 1970. History of The Arab, London: Macmillan.

Lewis, Bernard. 1988. The Arabs In History. Terjemahan oleh Said Jamhuri. 1994. Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah. cetakan ke-2. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Lombard, Maurice.1975. The Golden age of Islam. New York: American Elsevier.

M. Sadeq, Abu al-Hasan dan Aidit Ghazali. 1992. Readings in Islamic Economic   Thought. Kuala Lumpur: Longman Malaysia.

Muir, William. 1984. The Caliphate- its Rise- Decline- and fall. London: Darf         Publiser.

Majid, M.Nazori. 2003. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. cet.I. Yogyakarta:    PSEI    STIS.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau  Dari Berbagai Aspeknya.  cetakan v. jakarta: UI Press.

Sa'ad, Ahmad Sodiq. 1979.Tarikh Mesir al-Ijtima'i al-iqtisadi, Beirut: Dar Ibn        Khaldun.
Syari’ati, Ali. 1979. On the Sociology of Islam. terj. Hamid Algar. Sosiologi            Islam.  Berkeley: Mizan Press

Yasin, Najman. 1988. Thathauru al-Audha’ al-Iqtishadiyah fi ‘Ashri al-Risalah       wa al-  Rasyidin, Mosul: Bait al-Maoshul, Jami’ah al-Maosul.

Yusuf , Abu. 1302 H. Kitabu al-Kharaj,Bairut Libanon: Daru al-Ma’rifah li            al-Thabi’ah.

Zaidan, Jurzi. tt. Tamaddun fi al-Islam. Jilid XIII. Beirut: Dar al-Fikri.

















                [1]Dosen Program Studi Ekonomi Islam FIAI UII dan Peserta Program Doktor Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, email: rahmani_ty@yahoo.com

1 komentar:

  1. Terima kasih atas infonya
    Dan sangat bermanfaat
    Perkenalkan saya mahasiswa iain langsa fakultas ekonomi syariah

    BalasHapus