Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti[1]
I.
Pendahuluan
Kehadiran ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan
hasil dengan banyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan
dipraktikkannya ekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti halnya lembaga
keuangan syariah bank dan non bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat
ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai
sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik telah hadir secara bertahap dalam
periode dan fase tertentu. Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas
dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang
sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi
seorang manusia adalah suatu fitrah.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali
jejak-jejak pemikiran munculnya konsep
ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan
sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip
syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat
tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin
muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa,
sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam
sesungguhnya.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu
bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir,
filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendekiawan muslim terkemuka, telah
memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan
peradaban dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui sebuah proses evolusi
yang terjadi selama berabad-abad.
Latar belakang para
cendekiawan Muslim tersebut bukan merupakan ekonom murni. Pada masa itu,
klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Mereka mempunyai
keahlian dalam berbagai bidang ilmu dan mungkin faktor ini yang menyebabkan
mereka melakukan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi dan bidang ilmu
yang mereka tekuni sebelumnya. Pendekatan ini membuat mereka tidak memfokuskan
perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata. Konsep ekonomi mereka
berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadis nabi. Ia
merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan
universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu
dan masyarakat, serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran
mereka.
Selama 14 abad sejarah Islam, terdapat studi yang
berkesinambungan tentang berbagai isu ekonomi dalam pandangan syariah. Sebagian
besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai literatur hukum Islam
yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus terhadap analisis ekonomi.
Sekalipun demikian, terdapat beberapa catatan para cendekiawan muslim yang
telah membahas berbagai isu ekonomi tertentu secara panjang, bahkan di
antaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik. Dalam memaparkan hasil pemikiran ekonomi
cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam,
setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber
pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan
kepada masyarakat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini (Adityangga, 2008). Kedua hal tersebut akan memperkaya
ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi
dan aplikasinya.
Kajian
terhadap perkembangan pemikiran ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik
yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Hal ini memiliki arti yang sangat
penting terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Tulisan ini
bermaksud mengkaji pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf. Oleh karena itu kerangka
dasar yang digunakan adalah metodologi
atau pendekatan studi pemikiran seorang tokoh. Dalam menelaah pemikiran tokoh,
terdapat beberapa hal yang harus dicermati sebagai berikut:
1) Pemikiran seorang tokoh dapat dilihat dari
sikap, tanggapan, ucapan, tulisan, dan perilakunya.
2) Pemikiran merupakan kegiatan dalam pikiran
seseorang (mind) yang hanya
dapat dilacak setelah dimanifestasikan.
3) Dalam berpikir, manusia dipengaruhi oleh
kondisi internal maupun eksternal.
4) Kondisi internal berupa nilai-nilai yang
berasal dari pemikir tersebut, seperti agama, keyakinan yang dianutnya,
ideologi, disposisi kepribadiannya, subjektivitasnya, respon pemikirannya.
5)
Kondisi
eksternal berupa lingkungan domestiknya dan
internasional dalam
bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, dan lain sebagainya (Brinton, 1980: 15).
Terdapat dua metode ( metodologi/pendekatan/approach
) yang dapat digunakan untuk mengetahui pemikiran seseorang, adalah:
- Metode Subjektif, yaitu penelahaan terhadap pemikirnya dan bagaimana ia menghasilkan pemikirannya tersebut.
- Metode Objektif, yaitu penelaahan terhadap hasil pemikirannya dan bagaimana pergumulannya dengan lingkungan sekitarnya
- Kombinasi Metode Subjektif dan Objektif (Brinton, 1980: 15).
Berdasarkan kepada ketiga metode tersebut, tulisan ini
menggunakan
kombinasi metode subjektif dan objektif dalam
mengkaji pemikiran Abu Yusuf.
Sehingga dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah:
1) Menguak pemikiran tokoh tersebut
sebagaimana terekam dalam karya- karya
tulisnya.
2) Dikaji pula biografi tokoh tersebut.
3) Memahami korelasi antara ide-ide yng
tertuang dalam karya-karyanya dengan aktivitas kesehariannya/keilmuannya (Syari’ati,
1979: 39-69).
Berdasar kerangka tersebut, artikel
ini berusaha mengeksplorasi biografi Abu Yusuf, kondisi sosial ekonomi masa Abu
Yusuf hidup, pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf, studi kritis pemikiran ekonomi
Islam Abu Yusuf, serta aktualisasi pemikirannya.
II.
Sketsa Biografi Abu Yusuf
Abu Yusuf, yang dalam
literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin
Habib al-Anshori al-Jalbi al-Kufi al-Baghdadi lahir pada tahun 113 H / 731 /732
M di Kufah dan pernah tinggal di Bagdad, serta meninggal pada tahun 182 H / 798
M (Al Maraghi, 2001: 77, Al Baghdadi, tt: 329-338). Ia berasal dari suku
Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak
ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshor (pemeluk Islam pertama dan
penolong Nabi Muhammad SAW) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal sebagai
daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud (W.32 H) seorang sahabat
besar Nabi Muhammad SAW (Al Maraghi, 2001: 77, Al Baghdadi, tt: 329-338).
Secara historis dapat diketahui,
Abu Yusuf hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar dalam Islam,
yaitu pada akhir kekuasaan Bani umayyah di Damascus dan Masa Bani Abbasiyah.
Hal ini ditandai dengan adanya persaingan perebutan kekuasaan di kalangan
anggota-anggota dinasti Umayyah dengan kemewahan di istana yang telah membawa
dinasti ini kepada kelemahan yang pada gilirannya membawa pada kehancuran pada
tahun 750 M (K.Hitti, 1970: 281, Lewis, 1988: 73, Nasution, 1985: 67). Ketika
itu muncullah kelompok dari Bani Hasyim, sebagai saingan politik Bani Umayyah
memperebutkan jabatan Khalifah atau pemerintahan umat Islam. Gerakan oposisi ini
dipelopori oleh Abu al-Abbas ibnu Abdul al-Muthalib Ibnu Hasyim, kesatuannya
berhasil membunuh Khalifah Marwan II, yaitu khalifah terakhir Bani Umayyah
(Dewan, 1993: 135).
Dalam perjalanan
pendidikannya, Abu Yusuf menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah
ulama terkemuka pada masa itu. Antara lain Jalil ‘Atho' bin al-Sya’bi seorang
tabi'in senior ahli di bidang fiqh dan hadis, al-A'masy yang nama lengkapnya
Sulaiman bin Mahran , Hisyam ibn Urwah al-Asadi al-Madani beliau adalah ulama
hadis yang sangat terkenal pada masanyaserta termasuk kedalam thobaqat para
Tabiin yang banyak melahirkan murid terutama para ulama Hijaz seperti al-Zuhri
Imam Malik dan lainnya , Abu Ishaq asy-Syaibani, Sofyan al-Tsauri seorang imam
yang ahli dalam bidang hadis, beliau juga salah seorang mujtahid besar yang
mempunyai pengikut dan pengaruh yang amat besar, Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu
Abi Laila, beliau dikenal sebagai mujtahid yang berpegang kepada ra’yu dan
pernah menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun, yaitu sejak masa Bani Umayyah
sampai beberapa masa pada daulat Bani Abbasiyyah. Selain itu juga tokoh seperti
Sulaiman al-Tamimi dan Yahya Ibnu Said. Masing-masing ulama besar tersebut
sempat menjadi tempat Abu Yusuf menimba ilmu pengetahuan ( Azis, 1997: 16).
Fenomena ini mengindikasikan
minat Abu Yusuf yang kuat terhadap ilmu pengetahuan sejak kecil. Kecenderungan
tersebut selalu memacu beliau untuk lebih giat menimba ilmu pengetahuan dari
beberapa tokoh yang hidup pada masanya dan hal ini pula yang mendorongnya untuk
menekuni beberapa kajian, terutama dalam kajian-kajian hadis, meskipun dalam
perjalanan pendidikannya harus bekerja mencari nafkah karena kelemahan ekonomi
orang tuanya. Kemudian Abu Yusuf tertarik untuk mendalami ilmu fiqh bersama
gurunya Ibnu Abi Laila (W.148 H) (Azis, 1997: 16).
Selanjutnya ia belajar pada
Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Melihat bakat dan semangat serta
ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi membiayai
seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu
Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan
menyebarluaskan mazhab Hanafi ke berbagai penjuru. Hal ini dapat dipahami dari
ungkapan Abu Hanifah bahwa, Abu Yusuf adalah seorang yang sangat kuat hafalan
dan ilmunya. Tidak ada lagi seorangpun di seluruh dunia yang lebih luas ilmu fiqhnya dari Abu Yusuf. Ungkapan
tersebut memberi gambaran bahwa sekiranya Abu Hanifah tidak mempunyai murid
selain Abu Yusuf niscaya ia telah cukup untuk menjadi kebanggaan besar bagi
manusia (Azis, 1997: 16-17).
Dilihat pada aspek kajian
pendidikannya Abu Yusuf mempunyai kaitan erat dengan pemikiran fiqh Ibnu Abi
Laila sebagai guru dan murid. Namun pada tataran praktis lebih didominasi oleh
corak pemikiran Abu Hanifah dalam pandangannya. Dominasi ini bukan hanya karena
keterkaitannya dengan Abu Hanifah sebagai sahabat, murid dan guru, tetapi juga
karena corak pemikiran masyarakat saat itu yang didominasi oleh pemikiran Abu Hanifah. Selain itu terdapat motivasi yang
kuat dan khusus dari Abu Hanifah sendiri kepada beliau agar menyebarluaskan
Mazhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Sehingga banyak
kalangan menyebutnya sebagai tangan kanan Abu Hanifah (Al Junaidal, 1406 H:
129).
Setelah Imam Abu Hanifah wafat,
Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Abu Hanifah
selama 16 tahun dan masih berkomitmen untuk tidak berkomunikasi dengan jabatan
pemerintahan terutama jabatan kehakiman, seperti prinsip Abu Hanifah. Di
samping belajar dan mengajar, Abu Yusuf giat menyusun buku-buku yang membahas
ilmu fiqh, yang merupakan buku pertama yang beredar pada saat itu. Sehingga
tidak heran jika buku-buku fiqh Abu Yusuf dan pemikiran Mazhab Hanafi menguasai
alam pikiran umat Islam, termasuk keputusan para ulama di lingkungan peradilan
dan mahkamah-mahkamah resmi pada saat itu. Fenomena ini berimplikasi kepada tersebarnya
nama besar Abu Yusuf seiring dengan tersebarnya Mazhab Hanafi (Azis, 1997: 16).
Meskipun beliau sering disebut
sebagai murid dan pengikut Mazhab Hanafi, tetapi independensi pemikiran sangat
dijaga dalam berfatwa dan berijtihad. Sehingga dalam karya-karyanya, Abu Yusuf sering
mengutip kemudian mengkritisi pemikiran
Abu Hanifah serta menampilkan pemikirannya sendiri yang disertai argumentasinya.
Bahkan sering pula pendapat Abu Yusuf berseberangan dengan pendapat Abu
Hanifah. Oleh karena itu Abu Yusuf dibahasakan sebagai seorang Imam, karena
kepiawaiannya dalam menetapkan hukum dan luasnya kapasitas ilmu yang dimiliki.
Terlebih lagi bila dilihat peran dan fungsinya dalam mengembangkan hukum dengan
menggunakan beberapa perangkat metodologi yang terinspirasi dari Abu Hanifah.
Pada tahun 166 H / 782 M, Abu
Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Bagdad. Hal ini dilakukan karena kondisi
perekonomiannya tidak mendukung dalam menunjang karier keilmuannya. Sehingga
Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H / 775 M – 169 H / 785 M )
yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Bagdad timur. Panggilan populernya
adalah Qadi al-Qudah (hakim agung) yaitu jabatan yang disandangnya pada
masa kekuasaan khalifah Harun al-Rasyid (170 H / 786 M -194 H / 809 M) sebagai ketua para hakim yang pertama
di masa daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah
(abad ke-7) sampai masa Khalifah al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8).
Jabatan ini pantas diberikan kepadanya karena ilmunya luas, kepribadiannya
sangat disukai Khalifah Harun ar-Rasyid. Tentang Abu Yusuf Harun ar-Rasyid
menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu
fiqh, memiliki kepribadian ilmiah yang teguh dan konsisten.
Abu Yusuf dan beberapa orang
murid Abu Hanifah lainnya terus menyebarkan fiqh mazhab Hanafi ini sampai akhir
hayatnya, sehingga mereka juga dikenal mempunyai murid sebagai penyambung mata
rantai dari generasi ke generasi yang belakangan terkenal melahirkan tokoh yang
memperkenalkan metode pemikiran fiqh mahzab Hanafi seperti Abu Hasan al-Karakhi
(w.340 H), yang menyusun kitab al-Ushul, Abu Bakar al-Razi (w.380 H),
yang sering disebut al-Jassas dan menyusun kitab Ushul Fiqh ’Ulu al-Jassas,
Zaid al-Dabus, al-Bazdawi, al-Syahisi, al-Humam dan lainnya (Khudori Bik, 1939:
200-202; Zahrah, tt: 130-131).
Pengembaraan intelektual Abu Yusuf
telah menempatkan beliau pada posisi sebagai seorang tokoh ilmuwan yang
fenomenal. Hal ini tidak hanya dikarenakan corak berpikirnya yang cukup maju
tetapi beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara pada masa tersebut. Adapun karya-karya beliau yang
merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan
tatanan kehidupan sosial dan agama adalah kitab al-Atsar, kitab Ikhtilaf Abi
Hanifah wa Ibni Abi Laila, kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, kitab Adabu
al-Qodhi, kitab al-Maharij fi al-Haili dan kitab al-Kharaj (Al-Junaidal, 1406
H: 132-134, Dahlan, 1996: 17).
Kitab al-Kharaj (Yusuf, 1302 H) ini
merupakan kitab Abu Yusuf yang paling utama dan terkenal, sehingga mengalahkan
kemasyhuran beberapa kitab beliau yang lain. Selain kitab ini memuat tentang
permasalahan yang terkait dengan fenomena sosial, kitab ini juga sebagai referensi dalam
penentuan kebijakan perekonomian pada masa dinasti Abbasiyah, terutama sejak di
bawah pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang mampu memajukan ekonomi,
perdagangan dan pertanian dengan sistem irigasi. Dengan kitab ini para tokoh
dan ulama masa itu menobatkan sebagai tokoh ekonomi muslim klasik (Dewan, 1993:
88).
Menurut Ibnu Nadim (w.386 H/995 H)
seorang tokoh sejarawan dan ulama mazhab Hanafiyah, Abu Yusuf juga menulis
kitab-kitab yang lain seperti, as-Sholah, al-Zakah, al-Shiyam, al-Bai’,
al-Fara’id, al-Wasiyyah dan lain-lain. Namun beberapa kitab dan tulisan-tulisan
beliau lainnya sebagian masih berupa manuskrip-manuskrip dan sebagian lagi ada
yang berbentuk naskah yang sulit untuk dilacak bagian-bagiannya secara sempurna
(Azis, 1996: 16-17).
III.
Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan seting sosial kehidupan Abu
Yusuf, beliau hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan dalam Islam,
yaitu pada akhir kekuasaan Bani Umayyah dan kekuasaan Bani Abbasiyah. Secara
historis Dinasti Abbasiyah eksis setelah munculnya berbagai pemberontakan yang
dilakukan oleh keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan
dinasti Bani Umayyah di Damascus yang diakhiri dengan terbunuhnya Khalifah
Marwan II (Katsir, 1993: 31). Dengan demikian Abdul Abbas yang keturunan Abbasiyah
memproklamirkan diri sebagai Khalifah Dinasti Abbasiyah I dengan gelar Saffah
(Lewis, 1994: 75).
Terhadap
pemberontakan yang terjadi pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah ini menurut
Stephen Humprey (Humprey, 1991: 104) selain dari adanya perbedaan antara muslim
dan non muslim suatu hal yang lebih krusial adalah adanya pengabaian terhadap
kelompok ekonomi yang merupakan faktor penting dalam sistem produksi dan
distribusi. Sedangkan menurut William
Muir (Muir, 1984: 465), masa ini adalah masa peralihan dari pemerintahan
Umayyah yang berkesan keras, ke arah pemerintahan Abbasiyah yang lembut dan
makmur.
Kemakmuran
tersebut dibuktikan dengan meningkatnya kesejahteraan negara dan rakyat
terutama pemerintahan Harun ar-Rasyid. Beliau memajukan perekonomian,
perdagangan dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan pada sektor-sektor
ini menjadikan Bagdad _ibukota pemerintahan Bani Abbas_ sebagai pusat
perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu,dengan pertukaran barang-barang
dan valuta dari berbagai penjuru. Negara memperoleh pemasukan yang besar dari
kegiatan perdagangan tersebut ditambah pula perolehan dari pajak perdagangan
dan pajak penghasilan bumi.
Dari
beberapa pendapatan tersebut negara mampu membiayai pembangunan sektor-sektor
lain seperti pembangunan kota Bagdad dengan gedung-gedungnya yang megah,
pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian. Selain itu negara mampu
memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Kemudian negara juga
memberikan insentif yang tinggi kepada ulama dan ilmuwan yang mempunyai tulisan
atau karya imiah serta hasil penemuan. Dalam analisis historis masa ini ditetapkan
sebagai puncak kejayaan Islam atau sering disebut zaman keemasan Islam (The
Golden Age of Islam) (Dewan, 1993: 89; Lombard, 1975).
Pada
masa Harun al-Rasyid inilah Abu Yusuf mencapai puncak kariernya dalam jabatan
kenegaraan, dengan diangkatnya beliau sebagai Qadhi Qudhat (Ketua Mahkamah
Agung). Namun pada sisi lain
karakter politik dan gaya pemerintahan belum memberikan perubahan yang mendasar
dari pemerintahan sebelumnya. Sebab gaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah secara
keseluruhan masih memberi kesan kekuasaan mutlak dan bersifat tidak terbatas. (Hodgson,
2002: 63-66). Terlepas dari beberapa analisis karakteristik penguasa Dinasti
Abbasiyah yang dalam beberapa aspek telah memberi kesan absolutisme tersebut,
dinasti ini telah memberikan kontribusi kegemilangan pada peradaban muslim di
semua aspek kehidupan.
Terkait
dengan Abu Yusuf, kajian sosial ekonomi menjadi urgen dipaparkan, dalam upaya
pemetaan dan memposisikan pemikiran Abu Yusuf di tengah gejolak perekonomian masyarakat Abbasiyah,
yang beliau sendiri ikut berperan dalam menyulut dinamika perekonomiannya. Selain
itu sebagai upaya untuk melihat dalam posisi apa dan kondisi bagaimana kitab
al-Kharaj _yang menjadi referensi
sebagian besar perekonomian kerajaan_ ditulis.
Sejarah
telah mencatat bahwa masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan
dalam bidang sosial ekonomi. Hal ini terlihat dari stabilitas kondisi
perekonomian negara dan masyarakat yang menjadikan kota Bagdad sebagai
lalu-lintas perdagangan antarnegara. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan
terkumpulnya beberapa bekas wilayah kekuasaan besar seperti Bizantium dan
kekaisaran Sasaniah ke dalam satu wilayah Abbasiyah di bawah kekuasaan tunggal Khalifah.
Kondisi
ini memberi implikasi positif terhadap pertumbuhan perekonomian negara yang
dapat membawa Bagdad sebagai pusat perekonomian yang sangat besar dan mampu
menyediakan segala bentuk kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa. Selain
itu aktivitas masyarakat di bidang ekonomipun berjalan lancar seperti,
penyediaan segala bentuk sumber-sumber ekonomi dalam sektor pertanian,
industri, perdagangan, jasa transportasi, kerajinan dan pertambangan (Dewan,
1993: 88).
Beberapa
wilayah yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah, memiliki tanah dan lahan yang
sangat subur, seperti irak dan Mesir yang kondisi geografisnya mempunyai banyak
oase dan irigasi. Sementara pada dataran Afrika juga terkenal sebagai wilayah
penghasil gandum dan minyak. Sedangkan Armenia , Afrika Utara, Spanyol, Sudan,
Asia Tengah, dan Afrika Tengah terkenal dengan penghasilan tambang seperti
emas, perak dan lainnya. Selain itu di wilayah lain seperti Iran, Syria dan
Mesir penduduknya terkenal sangat kreatif
dengan kerajinan tangannya (Dewan, 1993: 88).
Fenomena kemajuan ekonomi lainnya adalah
adanya pelabuhan besar seperti Teluk Persia dan laut merah yang membuka jalan
menuju lautan India dan pelabuhan Syria
serta Mesir yang dikenal dengan Alexandria, serta pelabuhan Sisilia dan Gibraltar
yang menjadi lalu lintas menuju Eropa telah membuka aktivitas
perdagangan antara timur dan barat, sehingga aktivitas perdagangan ekspor dan
impor berlangsung dengan lancar (Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47). Realitas
tersebut membuktikan bahwa aktivitas ekonomi dan perdagangan pada masa
Abbasiyah tidak hanya terbatas pada wilayah kekhalifahan saja, tetapi juga mencakup wilayah kawasan di luar
kekuasaan Islam, bahkan sampai ke Cina. Kemajuan ekonomi masa Abbasiyah ini
tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung di antaranya terlihat kondisi
relatif politik dan pemerintahan yang kondusif.
Selain
itu pemerintahan Abbasiyah tidak cenderung membuka pembebasan wilayah baru
karena fokus pengembangan lebih ditekankan pada kegiatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat dalam semua sektor. Besarnya arus permintaan (demand)
bagi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, yang berimplikasi pada peningkatan
kuantitas persediaan (supply) barang dan jasa juga turut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk terutama di wilayah perkotaan yang menjadi basis pertukaran aneka
macam komoditas komersial (Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47).
Di
samping itu luasnya wilayah kekuasan Dinasti Abbasiyah dan wilayah bekas
jajahan Persia dan Bizantium juga telah mendorong perputaran dan pertukaran
kebutuhan komoditas, dengan didukung jalur transportasi laut yang mendukung kelancaran pengiriman barang
antarwilayah. Namun lebih penting dari itu semua adalah etos ekonomi para
Khalifah dan pelaku ekonomi dari golongan arab yang tidak diragukan lagi
(Dewan, 1993: 88; Majid, 2003: 46-47).
Dibalik
pertumbuhan ekonomi yang dicapai Dinasti Abbasiyah, terdapat problem krusial
yang menjadi tantangan stabilitas dan masa depan perekonomian dinasti tersebut.
Kurang harmonisnya relasi antara pemerintah dan tokoh agama pada masa awal
Islam, menjadi suatu hambatan dalam perkembangan dinamika ekonomi dan
sosialisasi pemahaman hukum pada masa generasi pertama. Kondisi tersebut
terjadi juga pada beberapa masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah sampai akhir
generasi Bani Abbasiyah. Pada masa tersebut para ulama yang tidak sependapat
dengan para penguasa selalu disisihkan, bahkan tidak sedikit dari kalangan
mereka yang harus mendekam dalam tahanan penjara (Amin, 1974: 184; Zaidan, tt:
328-329).
Tetapi
pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, kesenjangan tersebut tidak begitu
terlihat, karena hubungan antara Khalifah Harun al-Rasyid sangat harmonis
dengan Abu Yusuf sebagai ulama yang menerima tawaran jabatan Hakim pada masa
pemerintahan al-Mahdi dan Qadhi Qudhat pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid. Namun hal itu tidak berlaku secara umum, karena sikap egoistik penguasa dengan sistem
pemerintahan yang absolut sering kali memberi kesan apriori dan sangat
sensitif terhadap muatan saran dan
kritik yang dinilai tidak sependapat dengan cara pandang penguasa.
Kesenjangan
tersebut memberi pengaruh negatif terhadap hubungan baik antara masyarakat,
ulama dan penguasa. Di satu sisi penguasa berkewajiban untuk menjaga stabilitas
ekonomi masyarakat dan negara, namun beberapa kebijakan yang ditetapkan sangat
rentan terhadap penindasan kaum lemah dan cenderung lebih banyak perhatian
terhadap kelompok penguasa dan keluarga istana. Kondisi tersebut melahirkan
krisis nilai etis dan moral keadilan yang berimplikasi kepada instabilitas
ekonomi, budaya korupsi,kehidupan mewah para penguasa, kultus pemujaan terhadap
kaum istana dan eksploitasi agama untuk kepentingan pribadi penguasa. Sehingga
seringkali melahirkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada
kelompok kecil. Seperti penarikan pajak
tanpa adanya pertimbangan
nilai-nilai etika moral dan asas keseimbangan.
Sebagai
seorang ulama yang mempunyai jabatan strategis di dalam sistem pemerintahan Khalifah
Harun al-Rasyid, beliau menjadikan fenomena non dialogis antara masyarakat,
penguasa dan ulama tersebut sebagai pelajaran untuk memunculkan suatu ide
pembenahan terhadap sistem pemerintahan dan budaya masyarakat yang dianggap
telah merambah ke arah krisis etika tersebut. Kegelisahan Abu Yusuf itu termuat
dalam ungkapan surat panjang yang ditujukan kepada Khalifah Harun al-Rasyid
dalam upaya membenahi sistem ekonomi pemerintahan untuk tidak menindas
nilai-nilai etika dan mengedepankan asas-asas keseimbangan. Beberapa point
pokok dalam surat tersebut sempat menjadi diskusi panjang antara Khalifah Harun
al-Rasyid dan Abu Yusuf terutama dalam
hal yang berkaitan erat dengan income dan expenditure negara
serta beberapa hal yang terkait dengan mekanisme pasar (Yusuf, 1302 H; Majid,
2003: 75).
IV.
Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Abu Yusuf adalah orang pertama
kali memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-kharaj. Kitab
ini, ditulis atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid, ketika dia ingin
mengatur sistem Bait al-mal, sumber pendapatan negara seperti al-kharaj, al-'usyur, dan al-jizyah dan cara pendistribusiannya, dan
untuk menghindari manipulasi, kedzaliman, serta untuk mewujudkan kepentingan
penguasa (Al Junaidal, tt: 139).
Muatan konseptual al-Kharaj dan
visi strategisnya terhadap kebijakan sumber pendapatan negara mencerminkan
keunggulan akademik Abu Yusuf dalam bidang ekonomi, dan pengalamannya menjabat
sebagai hakim agung. Interaksinya dengan penguasa dari satu sisi, dan
kepakarannya dalam ilmu fiqh dari sisi lain, telah menempatkan kitab al-kharaj
sebagai karya monumental dan komprehensif. Keberadaan
kitab al-kharaj juga mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak
terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka.
Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli
ekonomi sebagai canons of taxation (Karim, 2001; Asmuni, 2005: 118).
Al-Kharaj
buah karya Abu Yusuf yang menjadi panduan manual perpajakan pada masa Khalifah
Harun al-Rasyid, sebenarnya memiliki berbagai versi percetakan. Yang tertua di antaranya adalah edisi Bulaq yang
dicetak pada tahun 1302 H / 1885 M, dan tidak memiliki kelengkapan editorial.
Setelah itu Salafiah Press menerbitkan kembali satu edisi, dan sempat mengalami
beberapa kali cetakan ulang yang memuat
isi dan hadis yang sama. Pada
edisi ini hanya memberi kesan tampilan perbedaan halamannya saja. Sehingga
tidak salah bila diduga edisi ini bersumber pada bahan dan manuskrip yang sama.
Pada edisi Salafiyah Press sebagian memiliki editorial namun hanya sebagian
kecil saja. Sementara edisi yang lengkap tentang kitab al-Kharaj
ini terdapat dalam satu komentar yang
diberi judul Fiqhu al-Mulk wa miftah al-Ritaj yang ditulis oleh Abul
Aziz bin Muhammad al-Rahbi (W. 1194 H)
(Majid, 2003: 33-34).
Tulisan
tersebut kemudian di edit oleh A.U.Kabishi yang telah meletakkan kitab al-Kharaj
dalam beberapa komentar serta membuat perbedaannya secara sistematis dengan
edisi Rahbi, edisi ini terdapat dalam dua manuskrip yang kemudian dicetak
dengan hasil yang sangat memuaskan. Selain itu juga ada teks yang dicetak dan
diedit oleh Ikhsan Abbas, namun tidak membuahkan hasil yang lebih baik dari
edisi Kabishi tersebut (Majid, 2003: 33-34). Tetapi yang digunakan
sebagai referensi tulisan ini adalah edisi yang dicetak pada tahun 1302 H,
diterbitkan oleh Daru al-Maa’rifah li al-Thabi’ah di Bairut Libanon,
yang memuat materi dan hadis yang sama dengan edisi Bulaq.
Kitab
al-Kharaj ini memuat beberapa tulisan yang dimulai dari nasehat dan
wejangan yang dialamatkan Abu Yusuf kepada Amiru al-Mu’minin dan putera
mahkota, yang isinya tentang nasehat umum yang diikuti dengan sejumlah hadis
yang mayoritas dikategorikan sebagai hadis-hadis marfu’. Setelah memberi
nasehat panjang lebar kepada Khalifah dan putera mahkota, kemudian Abu Yusuf
memaparkan pemikirannya tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi,
rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah, pajak-pajak hasil pertanian,
kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak dengan istilah Kharaj yang
kemudian menghasilkan beberapa istilah seperti ’Ushr, Zakat, atau shadaqah
(Yusuf, 1302: 4).
Kitab
al-Kharaj tersebut didominasi pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi. Hal
ini terlihat dari pembahasan selanjutnya tentang jizyah yang hanya
diberlakukan untuk orang-orang non muslim serta pembahasan mengenai status
sosial, hak dan kewajiban penduduk non muslim di negara Islam, selain itu pada bagian akhir membahas hudud, gaji pegawai
pemerintah, fiskal, devisa negara, kesejahteraan non muslim dan lain sebagainya
(Al-Kaaf, 2002: 149; Yusuf,1302: 28, 42, 94, 69, 117, 128).
Kitab
karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharaj, didasarkan kepada pemilihan
persoalan mayoritas yang dibahas dalam kitab tersebut yaitu pajak, jizyah,
serta terinspirasi dari penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan
tentang administrasi pemerintahan. Selain itu kharaj diartikan sebagai
harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. ada
bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah
pertanian atau pajak hasil bumi (Al-Kaaf, 2002: 149).
Sedangkan pemikiran kontroversialnya
ada pada sikapnya yang menentang pengendalian dan penetapan harga (tas’ir)
oleh pemerintah. Pada zaman Abu Yusuf asumsi yang berkembang adalah, apabila
tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka
harga akan murah. Tetapi beliau menolak
asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit
(supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula
persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada
kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan (supply) saja,
tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand) (Habib, 2004:
10).
Oleh
karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan
peningkatan atau penurunan permintaan akan barang. Menurut Abu Yusuf ada
variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara
rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau
jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan dan
penahanan barang. Bagi Abu Yusuf tinggi rendahnya harga adalah bagian dari
ketentuan Allah, manusia tidak dapat intervensi atas urusan dan ketetapanNya (Habib,
2004: 10; Al-Duri, 1394 H).
Dapat
dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam al-kharaj
karya Abu Yusuf, dan juga belum dikenal di dunia Barat sampai beberapa abad
pasca Abu Yusuf. Kegiatan perekonomian, menurut Abu Yusuf merupakan fenomena
yang selalu berubah-ubah (zawahir tsanawiyah) dan bersumber dari
aktivitas kolektif masyarakat muslim. Faktor-faktor yang mempercepat kegiatan
perekonomian tidak sama dari segi tingkat kepentingan dan kekuatannya. Pertama,
mewujudkan undang-undang tertinggi yang dengannya dapat memerintah dengan
pertolongan Tuhan. Kedua, usaha untuk memenuhi kebutuhan
material dan keinginan-keinginan lainnya. Ketiga, inisiatif atau
keinginan penguasa (Dahlan, 1996: 18).
Oleh karena itu, menurut Abu Yusuf, fenomena
prekonomian tidak selalu berhubungan secara langsung dengan sebab akibat
(undang-undang tentang perekonomian). Hubungan biasanya bersifat tidak langsung
karena melalui kehendak tertinggi, atau kehendak wakil Tuhan di permukaan
bumi dalam bentuk masyarakat muslim, penguasa atau lainnya. Para khalifah Tuhan
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan berkaitan dengan sejumlah
fenomena-fenomena perekonomian seperti perbaikan tanah dan lain-lain. Tentang
keuangan Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik Khalifah dan
Sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya, yang harus dijaga dengan penuh
tanggungjawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan
seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya (Dahlan, 1996: 18).
Menurut Abu Yusuf, sumber
ekonomi berada pada dua tingkatan: tingkat pertama meliputi unsur-unsur alam
(antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan melakukan produksi
secara mandiri. Tingkatan kedua tenaga kerja. Tingkatan yang kedua ini berperan
kurang maksimal dan tidak rutin seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah,
membuat sistem irigasi dan lain-lain.
Sebetulnya produksi dalam pengertian membuat barang baku (setengah jadi)
menjadi produk final melalui kerja, tidak banyak menarik perhatian Abu Yusuf
termasuk pada proses permulaan seperti menghidupkan tanah mati (Ihya’
al-Mawaat) dan tidak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat
mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah
tersebut (Habib, 2004: 10).
Menurut Abu Yusuf elemen dalam
perekonomian adalah Al-musytarakat al-diniyah (komunitas yang menganut
agama samawi dan agama ardhi), dan musytarakat al-mudun atau komunitas
masyarakat perkotaan dan pedesaan atau komunitas masyarakat dagang. Komunitas
jenis pertama terbentuk dari unsur agama, dan komunitas jenis kedua membentuk
pusat kekuasaan pemimpin. Kedua jenis komunitas tersebut mempersatukan,
atau minimalnya mempererat hubungan antara semua unsur atau elemen prekonomian
tersebut (Asmuni, 2005: 5).
Pada masa Abu Yusuf misalnya penduduk satu desa
atau kota memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri dari sektor produk pertanian
dan kerajinan dan tidak mengantungkan diri pada barang-barang impor kecuali
untuk pelengkap. Demikian pula kesatuan sektor pajak karena penduduknya
konsisten untuk bersolidaritas dan untuk saling menjamin dalam mengeluarkan
nominal pajak dalam setahun baik dalam bentuk barang atau uang.
Terakhir kesatuan administrasi, artinya administrasi pemerintahan pusat tidak
melakukan interaksi dengan masing-masing individu melainkan secara kolektif
sebagai satu kesatuan melalui tokoh desa (syaikh al-qoryah) atau
pemimpin desa (Sa’ad, 1979).
Adapun
mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas sosial tidak
dibahas oleh Abu Yusuf. Diskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf,
mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara
umat Islam dengan kaum zimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam
dengan komunitas non muslim dalam Dar al-harb. Dalam hubungan model
pertama pendapatan bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah.
Sedangkan hubungan model kedua, pendapatan bersumber dari al-ganimah yang
sebagiannya didistribusikan untuk Bait al-mal. Selain itu, pemerintah
juga menarik bea cukai dari pedagang kafir harbi atas barang dagangan
mereka yang masuk ke negara Islam. Adapun umat Islam diwajibkan untuk
mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka sesama muslim yang
membutuhkan (Yusuf, 1302 H: 122).
Abu Yusuf juga mengenalkan konsep
perdagangan luar negeri, yang secara implisit diberi istilah tabadul. Pemahaman
fleksibilitas dibangun Abu Yusuf dengan melahirkan sikap toleran dengan
kesepakatan damai dalam hubungan perdagangan internasional. Kesepakatan
tersebut adalah jaminan keamanan berkala per empat bulan dengan pembaharuan
apabila perdagangan mereka belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan. Serta
diperbolehkan tinggal di Dar al-Islam dengan status sebagai ahli zimmi (Al
Mawardi, tt: 291-292).
Dalam melakukan
restrukturisasi sistem perekonomian negara Bagdad, ada beberapa mekanisme yang
dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu,
a) Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem
Muqasamah
Istilah
wazifah dan istilah muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan
pajak. Sistem wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan
nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin
dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama
secara keseluruhan. Sedang sistem muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang
diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan
tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional (Yusuf,1302: 48).
b) Membangun pemahaman fleksibilitas sosial
Meskipun
hukum Islam hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum
penuh, secara bersamaan kaum non muslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya
kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila
mereka diijinkan untuk memasuki wilayah Dar al-Islam. Seorang muslim adalah
seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam,dan menikmati hak-hak
kewargaannegaranya secara penuh. Namun di balik itu setiap warga negara akan
menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan
mereka masing-masin. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga
kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu
kelompok Harbi, kelompok Musta’min, dan kelompok Zimmi. Abu Yusuf berusaha
memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah
masyarakatnya dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status
kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum
lainnya. (Al Mawardi, tt: 252).
c) Membangun sistem dan politik ekonomi yang
transparan
Transparansi
yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendiskripsikan income negara
yang meliputi ghanimah dan fay’ sebagai pemasukan yang sifatnya insidental
revenue, sedangkan kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat
sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi
interpretasi yang jelas tentang aturan al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 41
yang artinya:
”....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya
adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yatim, orang-orang
miskin dan musafir..”.
Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini
di kalangan para ahli fiqh terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharaj
Abu Yusuf seperlima tersebut menurut:
”Riwayat Qais Bin mUslim yang
diriwayatkan dari Hasan Bin Muhammad Bin Hanafiyah, dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu untuk Nabi (Para Khalifah penggantinya setelah beliau wafat), untuk
keluarga terdekat, dan untuk kelompok anak yatim, fakir miskin dan musafir” (Yusuf, 1302: 21).
Dari
sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf, akan terlihat dari
empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit, sedangkan seperlimanya disimpan
pada bendahara umat atau Baitu al-Mal
untuk kepentingan umat. Hal ini sesuai dengan ajaran al-Qur’an surat
al-Anfal ayat 41 yang mengatur tentang distribusi harta rampasan perang
tersebut. Melihat beberapa pertimbangan yang lebih mengacu kepada kebijakan
umar yang berlandaskan ayat di atas, Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj memaparkan
tentang distribusi harta ini dengan menjelaskan perwujudan dari alokasi
anggaran, maka interpretasi dari tindakan tersebut, merupakan implementasi dari
asas transparansi sistem dan politik ekonomi yang melingkupi beberapa aspek,
seperti transparansi terhadap tentara sebagai keamanan negara, gaji pegawai,
perbaikan masjid, lampu penerang, serta beberapa kepentingan lain yang sifatnya
maslahah ’ammah (Yusuf, 1302: 19-20).
d) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Upaya
menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam
penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga.
Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang
tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada
variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis
Rasulullah SAW:
” Diriwayatkan gari Abdu
al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin ’Utaibah yang menceritakan bahwa pada
masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi, maka sebagian masyarakat pernah
mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang
penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata: tinggi dan rendahnya harga barang
merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa
mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut.” (Yusuf,1302: 87).
Teori
harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional
yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan
penawaran komoditi (teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak
secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara
eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan
berpengaruh terhadap harga.
Dari
pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab al-Kharaj dapat disimpulkan
meliputi beberapa bidang sebagai berikut:
1) Tentang pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa
bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang
khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh
karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah SWT. Dalam hubungan hak dan
tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang
sangat populer yaitu tasharruf
al-imam ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan
rakyat senantiasa terkait dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan
)
2) Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah
dan sultan, tetapi amanat Allah SWT dan
rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa
dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim
yang diasuhnya.
3) Pertanahan, Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah
rakyat dihormati, tidak boleh diambil dari seseorang lalu diberikan kepada
orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika
tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
4) Perpajakan, Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada
harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan
mereka.
5) Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan
adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan
pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap
lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang
subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam
menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan
keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh
menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan (Dahlan, 1996: 18).
V.
Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Abu
Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi,
selain Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak
dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf.
Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf (Al Junaidal, 1406
H: II/131).
Keunggulan
karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode: Pertama,
menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode
fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua,
rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga
sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus
riel, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga,
bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha'
aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen,
tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan
ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat,
komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradisi
para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan
serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi
masyarakat yang baik) (Al Junaidal, 1406 H: II/131).
Dalam bidang ekonomi, terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun
menggunakan motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban
atas proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan
persoalan-persoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa itu. Jawaban
atas semua persoalan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli
sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj
karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja’far yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli
tanpa memberi kesempatan kepada nalar (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).
Abu
Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan teks hadis. Sehingga kualitas hadis
dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab
al-kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja’far. Dalam hal ini Abu
Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah)
asalkan relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu
menjadi pertimbangan utama (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).
VI.
Penutup
Dari deskripsi di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan tentang pemikiran ekonomi Islam AbuYusuf. Secara garis
besar terdapat agenda yang dilakukan Abu
Yusuf dalam merestrukturisasi sistem ekonomi di negara Bagdad pada masa pemerintahan Khalifah Harun
al-Rasyid. Ketiga agenda tersebut adalah:
1) Menggantikan sistem wazifah dengan sistem
Muqasamah
Istilah wazifah dan istilah
muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak. Sistem wazifah
adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa
membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan
dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara
keseluruhan. Sedang sistem muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang
diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak
proporsional.
2) Membangun pemahaman fleksibilitas sosial
Abu Yusuf dalam hal ini
menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai
kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Musta’min, dan kelompok
Zimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak
terhadap mereka di tengah masyarakatnya dengan mengatur beberapa ketetapan
khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan
perdagangan serta ketentuan hukum lainnya
3) Membangun sistem dan politik ekonomi yang
transparan
Transparansi yang dibangun Abu
Yusuf terlihat ketika beliau mendiskripsikan income negara yang meliputi
ghanimah dan fay’ sebagai pemasukan yang sifatnya insidental
revenue, sedangkan kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat
sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi
interpretasi yang jelas tentang aturan al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 41.
4) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Upaya menciptakan sistem ekonomi
yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas
intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini
beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat
dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel
lain yang lebih menentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Duri al Qahthan. 1394 H/1974 M. al-Ihtikar wa Asaruhu fi
al-Fiqh al-Isllami. Cet. I. Bagdad:
Mathba'ah al-Ummah.
Adityangga,
Krishna. Latar Belakang Kemunculan Ekonomi Islam tersedia di http://adityangga.wordpress.com/2007/10/09/lingkup-bahasan-dan-urgensi-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam/
yang direkam pada 12 Feb 2008 06:38:15 GMT.
Al Baghdadi, Al
Khatib. tt. Tarikh al-Baghdad. jilid XIII. Beirut: Dar al-Fikri.
Amin, Ahmad. 1974. Duha
al-Islam. cet.VIII, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al- Misriyyah.
Abu Zahrah,
Muhammad. tanpa tahun. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Ahmad, Khursid (ed). Studies in Islamic Economics. Jeddah: The
Islamic Foundation.
Al Husyairi, Ahmad. 1407 H/1986 M. al-Siyasah al-Iqtishadiyah wa
al-Nuzum al- Maliyah fi al-Fiqh al-Islami,
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. Cet. I.
Al-Junaidal, Hamad Abdurrahman. 1406 H. Manahijul bahisin fi al-iqtishad
al- islami, Syarikah al-'Ubaikan lit-thoba'ati wa al-Nasyr.
Al-Kaaf, Abdullah Zakiy. 2002. Ekonomi Dalam Perspektif Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Al-Maraghi,
Abdullah Mustafa. Fathu al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin. Terj. Husein
Muhammad. 2001. Pakar-pakar
Fiqh Sepanjang Sejarah. Cet.I,
Yogyakarta: LKPSM.
Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah, (ed) Bonn.
Asmuni Mth. 2005. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan
Negara. Dalam MILLAH Jurnal Studi
Agama. Vol.IV.No.2. Januari.
Brinton, Crane. dalam F.Iswara.
1980. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta.
Dahlan, Abdul Azis. 1997. Ensiklopedi
Hukum Islam. jilid 1-3. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.
Dewan Redaksi, 1993. Ensiklopedi Islam. jilid 2-3-5. Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.
Habib, Hassanuddin Nazis. 2004. Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan Syariah.
Jakarta: Kaki Langit.
Humprey,
Stephen. 1991. Islamic History: A Frame work for inquiry. New Jersey: Princeton University Press.
Hodgson, Marshal GS. 2002. The Venture of Islam. terjemahan
Mulyadi Kertanegara, “The Venture of
Islam: Iman dan Sejarah dan Peradaban Dunia”.
Ibn Salam, Abu 'Ubaid al-Qosim. 1353 H. al-Amwal. tahqiq Muhammad
Hamid al-Faqy. Kairo: Dar al-Kutub
al-Misriyah.
Ibn Adam, Yahya. 1979. Kitab al-Kharaj, tahqih Ahmad Muhammad
Syakir, Beirut Dar al-Ma’rifah.
Katsir, Ibnu.1993. al-Bidayah wa al-Nihayah,jilid V. Beirut:Dar
al-Fikr.
Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: IIIT.
Khudori Bik, Ahmad. 1939. Tarikh al-Tasyrial-Islami. cet.v. Kairo:
Matba’ah al- Istiqomah.
K.Hitti, Phillip. 1970. History of The Arab,
London: Macmillan.
Lewis, Bernard. 1988. The Arabs In History. Terjemahan
oleh Said Jamhuri. 1994. Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah. cetakan
ke-2. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Lombard, Maurice.1975. The Golden age of Islam. New
York: American Elsevier.
M. Sadeq, Abu al-Hasan dan Aidit Ghazali. 1992. Readings in Islamic
Economic Thought. Kuala Lumpur:
Longman Malaysia.
Muir, William.
1984. The Caliphate- its Rise- Decline- and fall. London: Darf Publiser.
Majid, M.Nazori. 2003. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. cet.I.
Yogyakarta: PSEI STIS.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. cetakan v. jakarta: UI Press.
Sa'ad, Ahmad Sodiq. 1979.Tarikh Mesir al-Ijtima'i al-iqtisadi,
Beirut: Dar Ibn Khaldun.
Syari’ati, Ali. 1979. On the Sociology of Islam. terj. Hamid Algar. Sosiologi
Islam. Berkeley: Mizan Press
Yasin, Najman. 1988. Thathauru al-Audha’ al-Iqtishadiyah fi ‘Ashri
al-Risalah wa al- Rasyidin, Mosul: Bait al-Maoshul, Jami’ah
al-Maosul.
Yusuf , Abu. 1302 H. Kitabu al-Kharaj,Bairut Libanon: Daru
al-Ma’rifah li al-Thabi’ah.
Zaidan, Jurzi. tt. Tamaddun fi al-Islam. Jilid XIII. Beirut: Dar
al-Fikri.
Terima kasih atas infonya
BalasHapusDan sangat bermanfaat
Perkenalkan saya mahasiswa iain langsa fakultas ekonomi syariah