Senin, 04 Juni 2012


URGENSI DAN FUNGSI FIQH ANGGARAN
DALAM UPAYA ANTISIPASI KORUPSI
DI INDONESIA

Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti[1]

Abstract
Meskipun korupsi sudah membudaya  di tengah kehidupan bangsa Indonesia sejak terlepas dari belenggu penjajahan, namun kejatuhan rezim orde baru dan dimulainya era reformasi, sebenarnya telah menerbitkan harapan publik bahwa tindak kejahatan korupsi tersebut, akan mampu diberantas secara signifikan. Namun demikian realitas di Indonesia, masih terjadi perilaku korupsi berupa menaikkan nilai anggaran dari nilai yang sebenarnya, dengan cara memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, tulisan ini berupaya mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana hukum ekonomi Islam merespon fenomena korupsi anggaran? Bagaimana urgensi dan fungsi fiqh anggaran dalam upaya antisipasi korupsi di Indonesia?
Keywords: fiqh anggaran, korupsi, Indonesia

I.       Pendahuluan
Diakui atau tidak korupsi sudah membudaya atau menjadi budaya di tengah kehidupan bangsa Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya mungkin menutup mata dan telinga terhadap kenyataan yang ada.
Salah satu modus laten korupsi yang dilakukan adalah dengan melakukan penggelembungan anggaran atau mark-up budget[2] yaitu menaikkan nilai anggaran dari nilai yang sebenarnya. Biasanya hal tersebut terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek seperti memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif (split budget)[3] yang dilakukan dengan membuat item atau mata anggaran yang sebenarnya tidak pernah direalisasikan untuk tujuan tertentu, namun dialokasikan untuk kepentingan lainnya. Dapat diberikan contoh misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian mesin fotocopi, tetapi pada praktiknya tidak ada mesin fotocopi yang dibeli, atau kalau mesin fotocopi dibeli harganya lebih murah.[4]
Dalam ilustrasi di atas, terdapat kemungkinan ada kebocoran anggaran sehingga tidak semua dana dialokasikan untuk proyek tersebut. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, kontraktor harus menyisihkan dana sekian persen untuk oknum-oknum di birokrasi agar dimenangkan dalam tender dan mendapatkan proyek. Dalam berbagai kasus, proses penentuan kebijakan termasuk dalam penganggaran hanya formalitas belaka, sebab dibalik prosedur formal tersebut sebenarnya sudah tersisipkan titipan-titipan dari para kolega dan kroni-kroni yang memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa, untuk memperkaya diri, keluarga, dan atau kelompoknya.[5]
Fenomena kebocoran anggaran tersebut sudah diisyaratkan oleh begawan ekonomi Indonesia almarhum Soemitro Djojohadikusumo lebih dari 20 tahun silam, bahwa sekitar 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa.[6] Realitas tersebut masih tetap berlanjut hingga kini, kegiatan pengadaan barang dan jasa  pemerintah, masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Fase perkembangan praktik korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde Lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini.
Kejatuhan rezim Orde Baru sebenarnya telah menerbitkan harapan publik bahwa tindak kejahatan korupsi tersebut, akan mampu diberantas secara berarti. Ketersediaan dan pembaruan dalam kebijakan publik, hukum, institusi dan organisasi anti korupsi telah nyaris lengkap dan memadai bagi upaya pemberantasan korupsi. Namun demikian belum mampu menurunkan tingkat korupsi secara signifikan.[7]
Analisis kecenderungan korupsi 2006 yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW)[8] memperlihatkan kasus korupsi bermoduskan  penggelembungan anggaran, menduduki posisi teratas yaitu 30%.  Penggelembungan anggaran dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak orang yang bermuara pada KKN.
Tidaklah berlebihan jika pemberantasan korupsi merupakan agenda reformasi yang paling kedodoran, bahkan menjadi lebih menggurita. Praktik dan tindak korupsi menjangkiti semua sektor (publik, privat, dan civil society), dan semua level pemerintahan (lokal hingga pusat).
   Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, bagaimana hukum ekonomi Islam merespon fenomena korupsi anggaran? Bagaimana urgensi dan fungsi fiqh anggaran dalam upaya antisipasi korupsi di Indonesia?
II.    Anggaran dan Prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam
Anggaran didefinisikan oleh Glenn A Welsch sebagai "Profit planning and control may be broadly as defined as sistematic and formalized approach for accomplishing the planning, coordinating and control responsibility of management"[9] Dengan demikian, anggaran harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi dasar manajemen yang meliputi fungsi perencanaan, koordinasi dan pengawasan sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen.
Interpretasi  dari hal tersebut adalah, (1) Anggaran harus bersifat formal yang disusun dengan sengaja serta bersungguh-sungguh dalam bentuk tertulis dan teliti, (2) Anggaran harus sistematis yang disusun dengan berurutan dan berdasarkan logika, (3) Setiap manajer dihadapkan pada suatu tanggungjawab untuk mengambil keputusan, sehingga anggaran merupakan hasil pengambilan keputusan yang berdasarkan asumsi tertentu, (4) Keputusan yang diambil oleh manajer tersebut, merupakan pelaksanaan fungsi manajer dari segi perencanaan, pengorganisasian, mengarahkan dan pengawasan.
Melalui anggaran, organisasi mengkomunikasikan rencana-rencana manajemen ke semua anggota organisasi, mengkoordinasikan aktivitas dari berbagai bagian organisasi, menugaskan tanggung jawab kepada manajer, juga memperoleh komitmen dari manajer yang merupakan dasar untuk mengevaluasi kinerja dari manajer.
               Meskipun penyusunan anggaran merupakan tanggung jawab pimpinan tertinggi organisasi, namun dapat didelegasikan kepada bagian yang terkait seperti bagian administrasi yang menyimpan seluruh data aktivitas organisasi. Pendelegasian tersebut dapat juga diberikan kepada panitia atau tim anggaran yang terdiri dari pimpinan dan wakil masing-masing bagian terkait.
Fungsi anggaran pada suatu organisasi merupakan alat untuk membantu pimpinan dalam pelaksanaan fungsi perencanaan, koordinasi, pengawasan dan juga sebagai pedoman kerja dalam menjalankan program kerja untuk tujuan yang telah ditetapkan.
            Winardi memberikan pengertian mengenai perencanaan yang meliputi tindakan memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan      datang dalam hal memvisualisasi serta merumuskan aktifitas-aktifitas yang diusulkan yang dianggap perlu untuk mencapai basil yang diinginkan.[10]
            Dengan demikian sebelum suatu organisasi melaksanakan aktivitasnya, pimpinan dari organisasi tersebut lebih dahulu harus merumuskan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di masa datang dan hasil yang akan dicapai dari kegiatan-kegiatan tersebut, serta mekanisme pelaksanaannya. Dengan adanya rencana tersebut, maka aktifitas akan dapat terlaksana dengan baik.
            Selain berfungsi sebagai perencanaan organisasi, anggaran merupakan salah satu cara untuk mengadakan pengawasan. Pengawasan tersebut merupakan usaha-usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun sebelurnnya dapat dicapai. Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi prestasi kerja dan tindakan perbaikan kinerja.[11]
            Pengawasan tersebut dilakukan dengan membandingkan antara prestasi kerja dengan yang dianggarkan. Dari perbandingan tersebut dapat ditemukan perilaku efisiensi, kinerja yang baik dalam mengelola organisasi atau bahkan perilaku menyimpang. Tujuan pengawasan tersebut bukan untuk mencari kesalahan, akan tetapi untuk mencegah dan memperbaiki kesalahan serta untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan rencana organisasi.
            Adapun fungsi koordinasi menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap individu atau bagian dalam organisasi untuk mencapai tujuan.[12] Dalam koordinasi tersebut diperlukan perencanaan yang baik, yang dapat menunjukkan keselarasan rencana antara satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam konteks tersebut anggaran dapat dipakai sebagai alat koordinasi untuk seluruh bagian yang ada dalam organisasi, karena semua kegiatan yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.
            Fungsi anggaran yang lain adalah merupakan suatu rencana kerja yang disusun sistematis dan dinyatakan dalam unit moneter. Anggaran dapat menjadi pedoman kerja bagi setiap bagian dalam organisasi untuk menjalankan kegiatannya, karena penyusunan anggaran berdasarkan pengalaman masa lalu dan prediksi-prediksi pada masa yang akan datang.[13]
            Untuk mencapai tujuan organisasi maka fungsi anggaran tersebut perlu diimplementasikan. Dalam kerangka itulah, anggaran harus disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip anggaran yaitu, transparan, akuntabel, disiplin anggaran (efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan), keadilan (penggunaannya harus dialokasikan secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat), efisien dan efektif (harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat).[14]
             Kalau dicermati prinsip-prinsip anggaran tersebut sangat relevan dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam. Oleh karena itu penyusunan anggaran dengan penerapan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam sudah menjadi keniscayaan. Adapun prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam yang dapat diterapkan dalam penyusunan anggaran, sebagai berikut:
1.      Prinsip Tauhid (Unity/Ilahiyah/Ketuhanan)[15] adalah prinsip umum dalam Islam, sehingga hukum ekonomi Islampun menganut prinsip tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid tersebut, maka pelaksanaan hukum ekonomi Islam merupakan ibadah. Dengan demikian, bagi seorang muslim yang bekerja menyusun anggaran, maka tidak lain karena sedang beribadah dan memenuhi perintah atau ketetapan Allah, sehingga anggaran yang disusun akan transparan, akuntabel, disiplin dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.      Prinsip Keadilan (Equilibrium/ Keseimbangan)[16], adalah prinsip yang menuntut terwujudnya keseimbangan individu dan masyarakat, prinsip tersebut menghendaki jalan lurus dengan menciptakan tatanan sosial yang menghindari perilaku merugikan. Dalam penyusunan anggaran harus dialokasikan secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat. Prinsip keadilan ini diambil dari QS. Al An’am ayat 152 dan surat dalam Al-Qur’an lainnya.[17]
3.      Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, adalah prinsip yang memposisikan anggaran sebagai pedoman kerja, sehingga bagi yang melakukan penyimpangan (kemungkaran) dapat diberi sanksi, dan yang berprestasi diberi reward. Prinsip amar makruf nahi munkar tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Imran : 104, 110, 114.
4.      Prinsip Pertanggungjawaban (Responsibility), adalah prinsip yang menuntut komitmen mutlak terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sesama manusia, sehingga penyusunan anggaran harus dipertanggungjawabkan kebenarannya. Prinsip pertanggungjawaban tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Isra ayat 36 dan surat Al-Ahzab ayat 15.
III. Urgensi Fiqh Anggaran  
            Umat Islam Indonesia semakin memperhatikan keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan ulamanya sendiri dan mempunyai kecenderungan untuk mengurangi keterikatan pada fiqh madzab fiqh yang empat, terutama terhadap ketetapan-ketetapan yang bersifat kontemporer. Kondisi tersebut berimplikasi kepada tuntutan terhadap ulama dan cendekiawan muslim agar bersikap lebih responsif terhadap eskalasi persoalan-persoalan kekinian di semua bidang, termasuk persoalan ekonomi seperti pengelolaan anggaran.
            Oleh karena itu respon ulama dan cendekiawan muslim Indonesia akan adanya fiqh anggaran, menjadi urgen untuk didiskusikan lebih lanjut, sebagai bentuk dinamika pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia.
Mengkaji tentang fiqh anggaran, tidak bisa lepas dari kajian fiqh itu sendiri. Secara etimologis, fiqh diambil dari kata faqiha-yafqahu fiqhan yang berarti mengetahui dan memahami. Menurut Ibn Manzur fiqh berarti “mengetahui dan memahami sesuatu”.[18] Sedangkan menurut terminologi ahli usul al-fiqh (usuliyyun), fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad.[19]
            Secara garis besar, unsur-unsur dalam definisi fiqh ini adalah: (1) ilmu tentang hukum syara’;[20] (2) hukum Syara’ tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat praktis dan konkret,[21] (3) pengetahuan itu diperoleh dengan cara ijtihad atau istidlal[22], yaitu mencurahkan segala potensi dan kesempatan dalam rangka mencapai kesimpulan hukum, (4) yang diderivatkan dari sumber pokoknya.
            Sehingga ilmu ini hanya dapat diperoleh oleh orang yang sudah mencapai kualifikasi mujtahid. Dalam rangka kegiatan ini maka tidak dapat terlepas dari metodenya (ilmu usul al-fiqh dan kaidah-kaidah fiqhiyyah), sebagai acuan teoritis dan praktisnya. Oleh karena itu, fiqh disebut sebagai ilmu ijtihadi dan ahlinya (faqih) tidak lain adalah mujtahid itu sendiri.
Terkait dengan definisi fiqh tersebut, maka fiqh anggaran dapat dikategorikan sebagai produk pemikiran fiqh yang harus mencakup empat unsur di atas, yaitu (1) berisi tentang hukum syara’(hukum Islam)[23], dalam hal ini nilai-nilai dasar hukum Islam. Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai-nilai dasar Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah kejujuran (sidq,amanah), keadilan, pertanggungjawaban, kemanfaatan dan kesejahteraan; (2) hukum tersebut tentang perbuatan mukallaf[24] yang bersifat konkret dalam hal ini adalah pengelolaan anggaran; (3) hukum tersebut digali dengan menggunakan metode ijtihad dan istidlal; dan (4) hukum praktis tersebut digali dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan logika (ra’y).
            Namun, dalam rangka merumuskan fiqh anggaran tersebut tidak dapat terlepas dari seting sosial-budaya masyarakat dan pada zamannya, sehingga fiqh selalu membawa warna lingkungannya. Hal ini mempertegas bahwa secara umum fiqh itu bersifat zanni (relatif) ketika masih dalam tingkatan produk pemikiran, sehingga tidak mengikat setiap muslim. Fiqh bersifat dinamis (fleksibel), tidak bersifat universal dan dapat mengalami perubahan. Tetapi, ketika fiqh itu menjadi qanun atau hukum positif atau menjadi rujukan dalam keputusan hakim di pengadilan maka otomatis mengikat setiap umat Islam atau para pihak.
            Adapun penerapan nilai-nilai dasar hukum Islam seperti shidq dan amanah ke dalam fiqh anggaran didasarkan kepada kaidah ushul fiqh yang menegaskan bahwa:
 ما لا يتم ا لو جب  ا لا به فهو و ا جب    yang artinya ” sesuatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula”.[25]
            Dalam pengelolaan anggaran,  kejujuran (shidq) tersebut adalah suatu kewajiban, yang tidak bisa dijalankan kecuali dengan penerapan prinsip transparansi anggaran. Oleh karena itu berdasarkan kaidah tersebut maka, melakukan transparansi anggaran adalah wajib. Dalam pandangan Islam, menghindari transparansi anggaran adalah suatu kemaksiatan.
            Perilaku jujur (shidq)[26] sangat berkaitan dengan sifat amanah[27]. Bila karakter amanah (dapat dipercaya)  dipelihara, maka kejujuran (shidq) dapat ditegakkan. Dalam hal ini shidq berkaitan dengan proses informasi anggaran, sedangkan amanah berkaitan dengan komitmen untuk mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran kepada yang berhak dalam rangka implementasi nilai-nilai kemanfaatan, kesejahteraan dan pertanggungjawaban.[28]  Pengendalian shidq dan amanah dilakukan dengan membangun sistem pengawasan. Sistem kontrol atau pengawasan ini harus diimplementasikan dengan sangat tegas dan didukung oleh supremasi hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan.[29]
            Berdasarkan kepada kaidah ushul fiqh di atas, dapat ditegaskan bahwa pengawasan anggaran adalah suatu kewajiban karena, penerapan shidq dan amanah tidak akan berjalan, tanpa adanya pengawasan. Pengawasan tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa transparansi anggaran. Oleh karena itu dalam perspektif fiqh anggaran, menegakkan transparansi[30] anggaran adalah pelaksanaan ibadah yang menempati kedudukan yang mulia dalam agama.
            Dalam kerangka inilah penerapan nilai-nilai dasar hukum Islam dalam penyusunan anggaran menjadi sangat penting dalam upaya antisipasi korupsi. Pada konteks ini eksistensi fiqh anggaran sangat urgen, karena bukan hanya demi kepentingan pribadi tetapi juga masyarakat. Oleh karena itu para pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran harus dikaitkan secara hukum, sehingga punya konsekuensi yang dapat dipertanggungjawabkan di muka pengadilan jika terjadi penyelewengan.
           
            Pemaksaan hukum dalam bentuk fiqh anggaran ala Indonesia yang diangkat sebagai hukum positif seperti KHI dan KHES, memang masih terbuka lebar untuk didiskusikan. Tetapi sebagai antisipasi manipulasi dana, urgensi dari pemberian sanksi hukum bagi para pihak yang terbukti bekerja tidak jujur, menjadi sangat penting, karena nilai-nilai Islam yang dikaitkan secara hukum tersebut, akan lebih mengikat daripada hanya dikaitkan secara moral atau etis yang tingkat ketaatannya sangat tergantung kepada kesadaran pribadi yang terkait. Karena sifat ketaatan yang bersifat subyektif tersebut secara  proporsional keterikatannya relatif lemah.
IV. Fiqh Anggaran Suatu Upaya Pengendalian
Dalam Islam pengawasan yang berfungsi sebagai pengendalian dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[31] Berdasarkan ruang lingkupnya, pengawasan terbagi menjadi dua; pertama  pengawasan internal (built-in control) yaitu, pengawasan yang berasal dari diri sendiri dan bersumber dari keimanan kepada Allah swt (tauhid). Secara filosofis,  fungsi pengawasan dalam Islam muncul dari pemahaman manusia akan tanggung jawab individu, amanah, dan keadilan.[32]
Pengawasan internal yang melekat dalam setiap pribadi muslim tersebut, akan menjauhkannya dari bentuk penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dan menuntunnya konsisten menjalankan hukum-hukum Allah swt dalam setiap aktivitasnya.
Yang kedua pengawasan eksternal (external control) yaitu, pengawasan eksternal yang dilakukan dari luar diri manusia dan terdiri atas mekanisme pengawasan dari pemimpin yang berkaitan dengan penyelesaian tugas yang telah didelegasikan, kesesuaian antara penyelesaian tugas dan perencanaan tugas terkait dengan anggaran dan lain-lain.
Seorang manusia yang yakin bahwa Allah SWT pasti mengawasi hambanya, maka ia akan bertindak hati-hati dalam kehidupannya.[33] Keyakinan tersebut akan menumbuhkan komitmen terkait dengan pengelolaan anggaran. Dengan demikian, perilaku korupsi dalam anggaran akan dihindari.
Dari pengawasan internal tersebut, kemudian dibarengi dengan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui mekanisme kepemimpinan yang adil, transparan, akuntabel dan bertanggungjawab.
Sebelum teknik pengawasan[34] eksternal dapat dipergunakan atau disusun sistemnya, pengawasan harus didasarkan kepada perencanaan yang  jelas, lengkap dan  terpadu untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dalam suatu organisasi. Hal tersebut dilakukan karena, pengawasan membutuhkan struktur organisasi yang jelas, oleh karena itu harus diketahui oleh orang yang bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan rencana sistem pengawasan dan yang harus mengambil tindakan untuk membenarkannya.
Dalam kerangka pengawasan eksternal tersebut, eksistensi fiqh anggaran ala Indonesia layak diupayakan, sebagai suatu mekanisme pengendalian pimpinan dan staf dalam penyusunan anggaran suatu organisasi, yang disemangati prinsip pertanggungjawaban dan amar makruf nahi munkar.
            Adapun integrasi nilai-nilai dasar hukum Islam dalam perencanaan anggaran diwujudkan melalui tiga pilar pengawasan sebagai suatu pengendalian, yaitu;[35] 1) ketaqwaan individu, 2) kontrol anggota, dan 3) supremasi hukum.
            Seluruh stakeholder organisasi harus dibina agar menjadi SDM yang bertaqwa di setiap tempat dan waktu agar mampu menjadi kontrol yang paling efektif. Selain itu perlu disusun mekanisme saling mengawasi antar sesama anggota secara horisontal. Dengan demikian, dalam suasana organisasi yang mencerminkan formula tim, maka proses keberlangsungan organisasi selalu akan mendapatkan pengawalan dari para SDM-nya agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan bersama.
            Ketaqwaan individu dan kontrol sesama anggota tersebut perlu dibarengi dengan penegakan hukum. Oleh karena itu, organisasi ditegakkan dengan aturan main yang jelas dan transparan. Sistem pengawasan yang baik tidak dapat dilepaskan dari pemberian punishment (hukuman) dan reward (imbalan). Bentuk reward tidak harus materi tetapi dapat berupa penghargaan atau promosi jabatan.[36]
            Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa, upaya mewujudkan fiqh anggaran sebagai suatu sistem pengendalian dalam pengawasan anggaran  tersebut, bukan hanya ajakan moral semata, tetapi dalam bentuk peraturan pengawasan anggaran dalam setiap perusahaan atau organisasi, baik mekanisme formal maupun mekanisme masyarakat, sehingga terdapat mekanisme reward (penghargaan) bagi yang berprestasi dan punishment (sanksi) bagi yang melakukan penyimpangan.
V.    Penutup
            Upaya yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan membasmi korupsi di Indonesia, bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor saja. Upaya pemberantasan dan antisipasi korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang.
Namun membangun fiqh anggaran ala Indonesia sebagai suatu sistem pengawasan dan pengendalian anggaran baik mekanisme formal maupun masyarakat, sudah selayaknya diadakan, meskipun upaya tersebut relatif masih dipertanyakan hasilnya. Hal itu dapat terjadi karena akan banyak tantangan dan rintangan dari para pihak yang sudah terbiasa dengan perilaku korupsi.
Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukumpun harus dilakukan. Kejujuran penegak hukum, harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum di Indonesia dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta tidak tebang pilih dalam penanganan suatu kasus korupsi. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu lama. Di sinilah dituntut profesionalitas para penegak hukum di Indonesia, jika pemerintah berkomitmen untuk penyelesaiaan kasus korupsi dapat berjalan secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan...(et al). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet.1.Jakarta: Ichtiar             Baru    Van Hoeve.

Abdul Mughits. 2008. ”Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Dalam         Tinjauan Hukum Islam” dalam Al Mawarid Jurnal hukum Islam.            Yogyakarta: Jurusan Syari’ah  FIAI UII.

Abu Ishaq asy-Syairazi. tt. al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh, cet. 1. Surabaya: Ahmad Bin             Nabhan.

Admin. “Anggaran Kinerja” dalam
            http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=7265&            Itemid=62. accessed pada tanggal 27 Agustus 2009        18:03:47 GMT.

Admin. “Modus Korupsi”, dalam

Glenn A.Welsch. 1981. Budgeting Profit Planning and Control, fourth edition,      .New   Delhi: prentice hall of India Private Limited.

H.A.Djazuli. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam       Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis,  Edisi Pertama, Cetakan           Ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Harald Motzki. 2000. The Origin of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before     the       Classical Schools, Leiden-Boston-Koln: Brill.

Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab, II.

Indonesia Corruption Watch. 2006. Korupsi Anggaran. Materi Training.     Jogjakarta 29   Agustus – 1 September.

Ida Bagus Putu Purbadharmaja. 2007. “Kajian Terhadap Fungsi Anggaran Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah”, dalam Buletin Studi Ekonomi. Volume           12        Nomor 3.


Iskandar Siregar. “Menuju Era Transparansi Anggaran”. dalam        http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Menuju+Era+Tran            sparansi+Anggaran&dn=20080627090126. accessed 11 Agu 2009 15:44:38 GMT.

Iskandar Sonhadji, “Perilaku Korupsi Dan Dampaknya” http://www.nu-   antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=198.          Diakses pada tanggal 22 Julil 2008 22:49:48 GMT.

Kompas, 25 Mei 2003.

Louis Ma’luf. 1973. al-Munjid fi al-Lugah wa al-Adab wa al-‘Ulum, cet. 22            .Beirut: Dar     al-Masyriq.


Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi,alih bahasa Machnun Husain, cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Nur Achmad Affandi. 2005 “Hak Rakyat Atas APBD”, Kedaulatan Rakyat, 18    Pebruari.

Peter Mahmud Marzuki, 2006. Penelitian hukum, Jakarta: Kencana.

Rahmani Timorita Yulianti. 2008. ”Korupsi: Problematika Dan Upaya         Pemberantasannya.”  dalam Al-Mawarid  Jurnal Hukum Islam.   Yogyakarta: Jurusan Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam UII.

Syahatah, HH. 2005. Suap Dan Korupsi Dalam Perspektif  Syariah. Edisi terjemahan oleh K.A. Irsyadi, Jakarta: Amzah

Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syari’ah, Jakarta: PT. Raja Grafindo      Persada.

Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).

Winardi. 1983. Azas-azas Manajemen, edisi ketujuh. Bandung: Penerbit Alumni.



                [1]Dosen tetap FIAI UII Yogyakarta, email: rahmani_ty@yahoo.com
               
                [2]Indonesia Corruption Watch, Korupsi Anggaran, Materi Training Jogjakarta, 29 Agustus – 1 September 2006

                [3]Modus korupsi anggaran yang lain seperti anggaran bertumpuk (double budgeting), misalnya  dalam suatu anggaran terdapat alokasi dana tunjangan kesejahteraan sebesar Rp 2 juta/orang per bulan. Tapi di pos lain, muncul bentuk lain tunjangan pemeliharaan kesehatan sebesar Rp 467.275.000,-. Padahal, kedua item itu sebenarnya adalah sama-sama sebagai asuransi kesehatan dalam bentuk jaminan. Sehingga telah terjadi duplikasi atau pengulangan item anggaran untuk satu hal.

            [4]Admin, “Modus Korupsi”, dikutip dari

            [5]Iskandar Siregar, “Menuju Era Transparansi Anggaran”, dikutip dari http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Menuju+Era+Transparansi+Anggaran&dn=20080627090126. accessed 11 Agu 2009 15:44:38 GMT

[6]Admin, “Penggelembungan Anggaran Modus laten Korupsi” dikutip dari  http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=88

        [7]Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2004 diberi nilai 2,0 (termasuk tertinggi di dunia). Berdasarkan survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) bulan Januari hingga Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden , Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. Selanjutnya lihat M.Syamsa Ardisasmita (Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi), Peran Transparansi Anggaran Dalam Pemberantasan Korupsi, Training dilaksanakan oleh Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran, 12 Maret 2005.


[8]Admin, “Penggelembungan Anggaran Modus laten Korupsi” dikutip dari  http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=88


            [9]Glenn A.Welsch, Budgeting Profit Planning and Control, fourth edition, (New Delhi: prentice hall of India Private Limited, 1981), hal.3
            [10]Winardi, Azas-azas Manajemen, edisi ketujuh, (Bandung: Penerbit Alumni,1983), hal.149

                [11]Ibid.
                [12]Ibid.
                [13]Ibid.
                [14]Nur Achmad Affandi, “Hak Rakyat Atas APBD”, Kedaulatan Rakyat, 18 Pebruari 2005.
[15]Syed Nawab Haider Naqvi, 1994, Islam Economics and Society, (London and New York: Kegan Paul International Ltd),  hal. Xviii. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), hal.31.
[16]Ibid., hal. 71.
[17] QS. Al-Maidah : 8, QS. Al-Hujurat : 9,
[18]Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, II: 1119 dan; Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-Adab wa al-‘Ulum, cet. 22 (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973),  hal. 591.
[19]Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh, cet. 1 (Surabaya: Ahmad Bin Nabhan, t.t.), hal 12.
[20]Sehingga selain cabang ilmu ini tidak dapat disebut dengan fiqh. Isma‘il, at-Tasy ri ‘., hal. 12.
[21]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 87-89. 
                [22]Ulama usul fiqh mendefinisikan istidlal dengan “ alasan dan beralasan yang digunakan seorang mujtahidndalam menetapkan hukum suatu masalah”. Alasan disini adalah dalil yang diambil dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan logika (ra’y). Lihat Abdul Azis Dahlan...(et al),  Ensiklopedi Hukum Islam, cet.1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 759.
            [23]Penentuan hukum Islam yang diterapkan dalam fiqh anggaran di sini menggunakan metode analisis hukum preskriptif. Analisis tersebut bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen dengan menggunakan metode pertingkatan hukum. Dalam hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang ( bertingkat/berlapis). Di dalamnya terdapat norma-norma yang dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar. Lihat Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools. (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2000). Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 22.


                [24]Orang mukallaf  adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan (lihat Abdul Azis Dahlan...(et al),  Ensiklopedi Hukum Islam, cet.1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.1219.
                [25]H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis,  Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 95-96.
                [26]Lihat al-Qur’an surat Maryam ayat 41 dan 56, surat at-Taubah  ayat 119.
                [27]Lihat al-Qur’an surat al-Qashash ayat 26.
            [28]Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, surat al-Mujadalah ayat 7, surat al-Isra' ayat 34 dan 36, surat al-Furqan ayat 16, surat al-Ahzab ayat 15, dan surat al-Isra ayat 36.


            [29]Lihat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58 dan al-Hujurat ayat 13.

            [30]Lihat al-Qur’an surat Ali Imran: 150 dan surat asy-Syura: 38

                [31]Abdul Mannan, Membangun Islam Kaffah,  (Jakarta: Madina Pustaka, 2000), hal. 152.
                [32]Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis Dan Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 180.
                [33]Lihat al-Qur’an surat al-Mujadalah: 7, al-Maa’idah: 8, al-Hujurat: 6, Qaaf:16-18, al-An’aam: 59.
[34]Administrator,”PengawasanPerspektifIslam”dikutipdari http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=104&item=275. accessed pada tanggal 6 Sep 2009 20:22:51 GMT.

                [35] Ibid.
[36] Didin Hafidhuddin, Manajemen Syariah Dalam Praktik,(Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), hal.158.

0 komentar:

Posting Komentar