URGENSI DAN FUNGSI FIQH ANGGARAN
DALAM UPAYA ANTISIPASI KORUPSI
DI INDONESIA
Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti[1]
Abstract
Meskipun korupsi sudah membudaya di tengah
kehidupan bangsa Indonesia sejak terlepas dari
belenggu penjajahan, namun kejatuhan rezim orde
baru dan dimulainya era reformasi, sebenarnya telah
menerbitkan harapan publik bahwa tindak kejahatan korupsi tersebut,
akan mampu diberantas secara signifikan. Namun demikian realitas di
Indonesia, masih
terjadi perilaku korupsi
berupa menaikkan nilai
anggaran dari nilai yang sebenarnya, dengan cara memasukkan pos-pos pembelian
yang sifatnya fiktif. Dalam
konteks perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, tulisan ini berupaya mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana hukum
ekonomi Islam merespon fenomena korupsi anggaran? Bagaimana
urgensi dan fungsi fiqh anggaran dalam upaya antisipasi korupsi di Indonesia?
Keywords: fiqh anggaran, korupsi, Indonesia
I. Pendahuluan
Diakui atau tidak
korupsi sudah membudaya atau menjadi budaya di tengah kehidupan bangsa
Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan
yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau
anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha
berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya mungkin menutup mata dan telinga terhadap
kenyataan yang ada.
Salah satu modus laten
korupsi yang dilakukan adalah dengan melakukan
penggelembungan anggaran atau mark-up budget[2] yaitu menaikkan nilai anggaran dari nilai
yang sebenarnya. Biasanya hal tersebut terjadi dalam proyek
dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek seperti memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif (split budget)[3] yang dilakukan dengan membuat
item atau mata anggaran yang sebenarnya tidak pernah direalisasikan untuk
tujuan tertentu, namun dialokasikan untuk kepentingan lainnya. Dapat diberikan contoh misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian mesin fotocopi, tetapi pada praktiknya tidak ada mesin fotocopi yang dibeli, atau kalau mesin fotocopi dibeli harganya lebih murah.[4]
Dalam ilustrasi di atas,
terdapat kemungkinan ada kebocoran anggaran sehingga tidak semua dana dialokasikan
untuk proyek tersebut. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, kontraktor
harus menyisihkan dana sekian persen untuk oknum-oknum di birokrasi agar
dimenangkan dalam tender dan mendapatkan proyek. Dalam berbagai kasus, proses penentuan kebijakan termasuk dalam
penganggaran hanya formalitas belaka, sebab dibalik prosedur formal tersebut
sebenarnya sudah tersisipkan titipan-titipan dari para kolega dan kroni-kroni
yang memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa, untuk memperkaya diri,
keluarga, dan atau kelompoknya.[5]
Fenomena kebocoran anggaran tersebut sudah
diisyaratkan oleh begawan ekonomi Indonesia almarhum Soemitro Djojohadikusumo
lebih dari 20 tahun silam, bahwa
sekitar 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik
KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa.[6] Realitas tersebut masih tetap berlanjut hingga kini, kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Fase perkembangan praktik korupsi di zaman modern seperti sekarang ini
sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.
Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta
lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan
telah dimulai di era Orde Lama Soekarno, yang
akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto
hingga saat ini.
Kejatuhan rezim Orde Baru sebenarnya telah menerbitkan harapan publik bahwa tindak kejahatan korupsi tersebut, akan mampu diberantas secara berarti. Ketersediaan dan pembaruan dalam
kebijakan publik, hukum, institusi dan organisasi anti korupsi telah nyaris
lengkap dan memadai bagi upaya pemberantasan korupsi. Namun demikian belum
mampu menurunkan tingkat korupsi secara signifikan.[7]
Analisis kecenderungan korupsi 2006
yang dilakukan Indonesian Corruption
Watch (ICW)[8]
memperlihatkan kasus korupsi bermoduskan penggelembungan anggaran, menduduki posisi teratas yaitu 30%. Penggelembungan anggaran dilakukan secara
sistematis dan melibatkan banyak orang yang bermuara pada KKN.
Tidaklah berlebihan jika pemberantasan
korupsi merupakan agenda reformasi yang paling kedodoran, bahkan menjadi lebih menggurita. Praktik dan tindak korupsi menjangkiti
semua sektor (publik, privat, dan civil society), dan semua level pemerintahan
(lokal hingga pusat).
Dalam konteks
perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, bagaimana hukum ekonomi Islam merespon fenomena korupsi
anggaran? Bagaimana urgensi
dan fungsi fiqh anggaran dalam upaya antisipasi korupsi di Indonesia?
II. Anggaran dan Prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam
Anggaran didefinisikan oleh Glenn A Welsch sebagai "Profit planning and control may be broadly
as defined as sistematic and formalized approach for accomplishing the
planning, coordinating and control responsibility of management"[9] Dengan demikian, anggaran harus dikaitkan dengan
fungsi-fungsi dasar manajemen yang meliputi fungsi
perencanaan, koordinasi dan pengawasan sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen.
Interpretasi dari hal tersebut
adalah, (1) Anggaran harus
bersifat formal yang disusun dengan sengaja serta bersungguh-sungguh dalam bentuk tertulis dan teliti, (2) Anggaran harus sistematis yang disusun dengan berurutan dan berdasarkan logika,
(3) Setiap manajer dihadapkan
pada suatu tanggungjawab untuk mengambil keputusan, sehingga anggaran merupakan
hasil pengambilan keputusan yang berdasarkan asumsi tertentu, (4) Keputusan yang diambil oleh manajer tersebut, merupakan pelaksanaan fungsi
manajer dari segi perencanaan, pengorganisasian, mengarahkan dan pengawasan.
Melalui
anggaran, organisasi mengkomunikasikan rencana-rencana manajemen ke semua anggota organisasi, mengkoordinasikan
aktivitas dari berbagai bagian organisasi, menugaskan tanggung jawab kepada
manajer, juga memperoleh komitmen dari manajer yang
merupakan dasar untuk mengevaluasi kinerja dari manajer.
Meskipun penyusunan anggaran merupakan tanggung jawab pimpinan tertinggi organisasi,
namun dapat didelegasikan
kepada bagian yang terkait seperti bagian administrasi yang menyimpan seluruh data aktivitas organisasi. Pendelegasian tersebut dapat
juga diberikan kepada panitia
atau tim anggaran yang terdiri dari pimpinan dan wakil
masing-masing bagian terkait.
Fungsi anggaran pada
suatu organisasi merupakan alat untuk membantu pimpinan dalam pelaksanaan fungsi perencanaan, koordinasi, pengawasan dan juga
sebagai pedoman kerja dalam menjalankan program kerja untuk
tujuan yang telah ditetapkan.
Winardi memberikan pengertian
mengenai perencanaan yang meliputi tindakan memilih dan menghubungkan
fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan
datang dalam hal memvisualisasi serta
merumuskan aktifitas-aktifitas yang diusulkan yang dianggap perlu untuk
mencapai basil yang diinginkan.[10]
Dengan demikian sebelum suatu organisasi melaksanakan
aktivitasnya, pimpinan dari organisasi tersebut lebih dahulu harus merumuskan kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan di masa datang dan hasil yang akan dicapai dari kegiatan-kegiatan tersebut, serta mekanisme pelaksanaannya. Dengan adanya rencana tersebut, maka aktifitas
akan dapat terlaksana dengan baik.
Selain berfungsi sebagai perencanaan organisasi, anggaran merupakan salah satu cara untuk mengadakan pengawasan. Pengawasan tersebut merupakan
usaha-usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun
sebelurnnya dapat dicapai. Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi
prestasi kerja dan tindakan perbaikan kinerja.[11]
Pengawasan tersebut dilakukan dengan membandingkan antara prestasi kerja dengan yang dianggarkan. Dari
perbandingan tersebut dapat
ditemukan perilaku efisiensi, kinerja yang baik dalam
mengelola organisasi atau bahkan
perilaku menyimpang. Tujuan
pengawasan tersebut bukan untuk mencari kesalahan, akan tetapi untuk mencegah dan memperbaiki kesalahan serta untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan rencana organisasi.
Adapun fungsi koordinasi
menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap individu atau bagian
dalam organisasi untuk mencapai tujuan.[12]
Dalam koordinasi tersebut diperlukan
perencanaan yang baik, yang dapat menunjukkan keselarasan rencana antara satu
bagian dengan bagian lainnya. Dalam
konteks tersebut anggaran
dapat dipakai sebagai alat koordinasi untuk seluruh bagian
yang ada dalam organisasi, karena semua kegiatan yang saling berkaitan antara
satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.
Fungsi anggaran yang lain adalah merupakan suatu rencana kerja yang disusun
sistematis dan dinyatakan dalam unit moneter. Anggaran dapat menjadi
pedoman kerja bagi setiap bagian dalam organisasi untuk menjalankan
kegiatannya, karena penyusunan anggaran berdasarkan pengalaman
masa lalu dan prediksi-prediksi pada masa yang akan datang.[13]
Untuk mencapai tujuan organisasi maka fungsi anggaran tersebut perlu
diimplementasikan. Dalam kerangka itulah, anggaran harus disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip anggaran yaitu, transparan, akuntabel,
disiplin anggaran (efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipertanggungjawabkan), keadilan (penggunaannya harus dialokasikan secara adil
untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat), efisien dan efektif (harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan bagi
masyarakat).[14]
Kalau
dicermati prinsip-prinsip anggaran tersebut sangat relevan dengan
prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam. Oleh karena itu penyusunan anggaran dengan
penerapan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam sudah menjadi keniscayaan. Adapun
prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam yang dapat diterapkan dalam penyusunan
anggaran, sebagai berikut:
1.
Prinsip Tauhid (Unity/Ilahiyah/Ketuhanan)[15]
adalah prinsip umum dalam Islam, sehingga hukum
ekonomi Islampun menganut prinsip tersebut. Prinsip ini
menegaskan
bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan
tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha
Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman
Allah QS. Ali Imran ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid tersebut, maka pelaksanaan
hukum ekonomi Islam merupakan ibadah.
Dengan demikian, bagi seorang muslim yang bekerja menyusun anggaran, maka tidak
lain karena sedang beribadah dan memenuhi perintah atau ketetapan Allah,
sehingga anggaran yang disusun akan transparan, akuntabel, disiplin dan dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Prinsip Keadilan (Equilibrium/
Keseimbangan)[16],
adalah prinsip yang menuntut terwujudnya keseimbangan individu dan masyarakat,
prinsip tersebut menghendaki jalan lurus dengan menciptakan tatanan
sosial yang menghindari perilaku merugikan. Dalam penyusunan anggaran harus dialokasikan secara adil untuk kepentingan
seluruh kelompok masyarakat. Prinsip
keadilan ini diambil dari QS. Al An’am ayat 152 dan surat dalam Al-Qur’an
lainnya.[17]
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, adalah prinsip
yang memposisikan anggaran sebagai pedoman kerja, sehingga bagi yang melakukan
penyimpangan (kemungkaran) dapat diberi sanksi, dan yang berprestasi diberi
reward. Prinsip amar makruf nahi munkar tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Imran : 104, 110, 114.
4. Prinsip Pertanggungjawaban
(Responsibility), adalah prinsip yang
menuntut komitmen mutlak terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
sesama manusia, sehingga penyusunan anggaran harus
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Prinsip pertanggungjawaban tersebut
ditegaskan dalam QS. Al-Isra ayat 36 dan surat Al-Ahzab ayat 15.
III. Urgensi Fiqh Anggaran
Umat
Islam Indonesia semakin memperhatikan keputusan-keputusan atau
ketetapan-ketetapan ulamanya sendiri dan mempunyai kecenderungan untuk
mengurangi keterikatan pada fiqh madzab fiqh yang empat, terutama
terhadap ketetapan-ketetapan yang bersifat kontemporer. Kondisi tersebut
berimplikasi kepada tuntutan terhadap ulama dan cendekiawan muslim agar
bersikap lebih responsif terhadap eskalasi persoalan-persoalan kekinian di
semua bidang, termasuk persoalan ekonomi seperti pengelolaan anggaran.
Oleh
karena itu respon ulama dan cendekiawan muslim Indonesia akan adanya fiqh anggaran,
menjadi urgen untuk didiskusikan lebih lanjut, sebagai bentuk dinamika
pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia.
Mengkaji
tentang fiqh anggaran, tidak bisa lepas dari kajian fiqh itu sendiri. Secara
etimologis, fiqh diambil dari kata faqiha-yafqahu fiqhan yang berarti
mengetahui dan memahami. Menurut Ibn Manzur fiqh berarti “mengetahui dan
memahami sesuatu”.[18] Sedangkan menurut
terminologi ahli usul al-fiqh (usuliyyun), fiqh berarti
ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad.[19]
Secara garis besar, unsur-unsur dalam
definisi fiqh ini adalah: (1) ilmu tentang hukum syara’;[20] (2) hukum Syara’
tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat praktis dan konkret,[21] (3) pengetahuan
itu diperoleh dengan cara ijtihad atau istidlal[22], yaitu mencurahkan segala
potensi dan kesempatan dalam rangka mencapai kesimpulan hukum, (4) yang
diderivatkan dari sumber pokoknya.
Sehingga ilmu ini hanya dapat diperoleh oleh orang yang sudah
mencapai kualifikasi mujtahid. Dalam rangka kegiatan ini maka tidak dapat
terlepas dari metodenya (ilmu usul al-fiqh dan kaidah-kaidah fiqhiyyah),
sebagai acuan teoritis dan praktisnya. Oleh karena itu, fiqh disebut sebagai
ilmu ijtihadi dan ahlinya (faqih) tidak lain adalah mujtahid itu
sendiri.
Terkait
dengan definisi fiqh tersebut, maka fiqh anggaran dapat dikategorikan sebagai
produk pemikiran fiqh yang harus mencakup empat unsur di atas, yaitu (1)
berisi tentang hukum syara’(hukum Islam)[23], dalam hal ini
nilai-nilai dasar hukum Islam. Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai-nilai
dasar Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah kejujuran (sidq,amanah),
keadilan, pertanggungjawaban, kemanfaatan dan kesejahteraan; (2) hukum tersebut
tentang perbuatan mukallaf[24]
yang bersifat konkret dalam hal ini adalah pengelolaan anggaran; (3) hukum
tersebut digali dengan menggunakan metode ijtihad dan istidlal; dan (4) hukum
praktis tersebut digali dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
dan logika (ra’y).
Namun, dalam rangka merumuskan fiqh anggaran tersebut
tidak dapat terlepas dari seting sosial-budaya masyarakat dan pada zamannya,
sehingga fiqh selalu membawa warna lingkungannya. Hal ini mempertegas bahwa
secara umum fiqh itu bersifat zanni (relatif) ketika masih dalam
tingkatan produk pemikiran, sehingga tidak mengikat setiap muslim. Fiqh
bersifat dinamis (fleksibel), tidak bersifat universal dan dapat mengalami
perubahan. Tetapi, ketika fiqh itu menjadi qanun atau hukum
positif atau menjadi rujukan dalam keputusan hakim di pengadilan maka otomatis
mengikat setiap umat Islam atau para pihak.
Adapun
penerapan nilai-nilai dasar hukum Islam seperti shidq dan amanah ke dalam fiqh anggaran didasarkan kepada kaidah ushul fiqh yang menegaskan bahwa:
ما لا
يتم ا لو جب ا لا به فهو و ا جب yang artinya ” sesuatu kewajiban tidak
sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal
tersebut hukumnya wajib pula”.[25]
Dalam
pengelolaan anggaran, kejujuran (shidq) tersebut adalah suatu kewajiban, yang tidak bisa dijalankan kecuali dengan penerapan prinsip transparansi anggaran.
Oleh karena itu berdasarkan kaidah tersebut maka, melakukan
transparansi anggaran adalah wajib. Dalam pandangan Islam, menghindari
transparansi anggaran adalah suatu kemaksiatan.
Perilaku jujur (shidq)[26] sangat berkaitan dengan sifat amanah[27]. Bila karakter amanah (dapat dipercaya) dipelihara, maka kejujuran (shidq) dapat ditegakkan. Dalam hal ini shidq berkaitan dengan
proses informasi anggaran, sedangkan amanah berkaitan dengan komitmen untuk mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran kepada yang berhak
dalam rangka implementasi nilai-nilai kemanfaatan, kesejahteraan dan
pertanggungjawaban.[28] Pengendalian shidq dan amanah dilakukan
dengan membangun sistem pengawasan.
Sistem kontrol atau pengawasan ini harus diimplementasikan dengan
sangat tegas dan didukung oleh supremasi hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan.[29]
Berdasarkan kepada kaidah ushul fiqh di atas, dapat ditegaskan bahwa pengawasan anggaran
adalah suatu kewajiban karena, penerapan shidq dan amanah
tidak akan berjalan, tanpa adanya pengawasan. Pengawasan tidak dapat dilakukan
dengan baik tanpa transparansi anggaran. Oleh karena itu dalam perspektif fiqh
anggaran, menegakkan transparansi[30] anggaran adalah pelaksanaan ibadah yang menempati kedudukan yang
mulia dalam agama.
Dalam
kerangka inilah penerapan nilai-nilai dasar hukum Islam dalam
penyusunan anggaran menjadi sangat
penting dalam upaya
antisipasi korupsi. Pada konteks ini eksistensi fiqh anggaran sangat urgen, karena bukan hanya demi kepentingan pribadi tetapi juga masyarakat. Oleh karena itu para pihak yang terlibat dalam penyusunan
anggaran harus dikaitkan secara hukum, sehingga punya
konsekuensi yang dapat dipertanggungjawabkan di muka pengadilan jika terjadi penyelewengan.
Pemaksaan
hukum dalam bentuk fiqh anggaran ala Indonesia yang diangkat
sebagai hukum positif seperti KHI dan KHES, memang masih terbuka lebar untuk
didiskusikan. Tetapi sebagai antisipasi manipulasi dana, urgensi
dari pemberian sanksi hukum bagi para pihak yang terbukti bekerja tidak jujur,
menjadi sangat penting, karena nilai-nilai Islam yang dikaitkan secara hukum
tersebut, akan lebih mengikat daripada hanya dikaitkan secara moral
atau etis yang tingkat ketaatannya sangat tergantung kepada kesadaran pribadi yang terkait. Karena sifat ketaatan yang bersifat subyektif tersebut secara proporsional keterikatannya relatif lemah.
IV. Fiqh Anggaran Suatu Upaya Pengendalian
Dalam Islam pengawasan yang berfungsi sebagai pengendalian dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus,
mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[31] Berdasarkan ruang lingkupnya, pengawasan terbagi menjadi dua; pertama pengawasan internal (built-in control) yaitu, pengawasan yang berasal dari diri sendiri dan bersumber dari keimanan kepada Allah swt (tauhid). Secara filosofis, fungsi
pengawasan dalam Islam muncul dari pemahaman manusia akan tanggung
jawab individu, amanah, dan keadilan.[32]
Pengawasan internal yang
melekat dalam setiap pribadi muslim tersebut,
akan menjauhkannya dari
bentuk penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dan menuntunnya konsisten
menjalankan hukum-hukum Allah swt dalam setiap aktivitasnya.
Yang kedua pengawasan eksternal (external control) yaitu, pengawasan eksternal yang dilakukan dari luar diri manusia
dan terdiri atas mekanisme
pengawasan dari pemimpin yang berkaitan dengan penyelesaian tugas yang telah
didelegasikan, kesesuaian antara penyelesaian tugas dan perencanaan tugas
terkait dengan anggaran dan lain-lain.
Seorang manusia yang yakin bahwa Allah SWT pasti mengawasi hambanya, maka ia akan
bertindak hati-hati dalam
kehidupannya.[33]
Keyakinan tersebut akan menumbuhkan komitmen terkait dengan pengelolaan
anggaran. Dengan demikian, perilaku korupsi dalam anggaran akan dihindari.
Dari pengawasan internal tersebut,
kemudian dibarengi dengan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui mekanisme
kepemimpinan yang adil, transparan, akuntabel dan bertanggungjawab.
Sebelum teknik pengawasan[34] eksternal dapat dipergunakan atau disusun sistemnya, pengawasan harus didasarkan
kepada perencanaan yang jelas, lengkap dan terpadu untuk meningkatkan
efektivitas pengawasan dalam suatu
organisasi. Hal tersebut dilakukan karena, pengawasan membutuhkan struktur organisasi yang jelas, oleh
karena itu harus diketahui oleh orang yang bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan rencana sistem pengawasan dan yang harus mengambil tindakan untuk membenarkannya.
Dalam kerangka pengawasan eksternal
tersebut, eksistensi fiqh anggaran ala Indonesia layak diupayakan, sebagai
suatu mekanisme pengendalian pimpinan dan staf dalam penyusunan anggaran suatu
organisasi, yang disemangati prinsip pertanggungjawaban dan amar makruf nahi
munkar.
Adapun integrasi nilai-nilai dasar hukum Islam dalam perencanaan anggaran diwujudkan melalui
tiga pilar pengawasan sebagai suatu
pengendalian, yaitu;[35] 1) ketaqwaan
individu,
2) kontrol anggota, dan 3) supremasi hukum.
Seluruh
stakeholder organisasi harus dibina agar menjadi SDM yang bertaqwa di
setiap tempat dan waktu agar mampu menjadi kontrol yang paling efektif. Selain itu perlu disusun mekanisme saling mengawasi antar
sesama anggota secara horisontal. Dengan demikian, dalam suasana organisasi yang mencerminkan formula tim,
maka proses keberlangsungan organisasi selalu akan mendapatkan pengawalan dari
para SDM-nya agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan bersama.
Ketaqwaan individu dan kontrol sesama anggota
tersebut perlu dibarengi dengan penegakan hukum. Oleh karena itu, organisasi ditegakkan dengan aturan main
yang jelas dan transparan. Sistem pengawasan yang baik tidak dapat dilepaskan
dari pemberian punishment (hukuman) dan reward (imbalan). Bentuk reward
tidak harus materi tetapi dapat berupa penghargaan atau promosi jabatan.[36]
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa, upaya
mewujudkan fiqh anggaran sebagai suatu sistem pengendalian dalam pengawasan anggaran tersebut, bukan hanya ajakan moral semata, tetapi dalam bentuk peraturan pengawasan
anggaran dalam setiap perusahaan atau organisasi, baik mekanisme formal
maupun mekanisme masyarakat, sehingga terdapat mekanisme reward (penghargaan)
bagi yang berprestasi dan punishment (sanksi) bagi yang melakukan
penyimpangan.
V. Penutup
Upaya yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan membasmi korupsi di Indonesia, bukan hanya sekedar menggiatkan
pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor saja. Upaya pemberantasan dan antisipasi korupsi juga bukan hanya sekedar
dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang.
Namun
membangun fiqh anggaran ala Indonesia sebagai suatu sistem pengawasan dan pengendalian anggaran baik mekanisme formal maupun
masyarakat, sudah selayaknya diadakan, meskipun upaya tersebut relatif masih
dipertanyakan hasilnya. Hal itu dapat terjadi karena akan banyak tantangan
dan rintangan dari para pihak yang sudah terbiasa dengan perilaku korupsi.
Penguatan
institusi-institusi aparatur penegak hukumpun harus dilakukan. Kejujuran
penegak hukum, harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar
proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur
hukum di Indonesia dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak
berpihak dalam memandang serta tidak tebang pilih dalam penanganan suatu kasus
korupsi. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara
cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak
membutuhkan waktu lama. Di sinilah dituntut profesionalitas para penegak hukum
di Indonesia, jika pemerintah berkomitmen untuk penyelesaiaan kasus korupsi dapat
berjalan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan...(et al). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet.1.Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Abdul Mughits. 2008. ”Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam” dalam Al
Mawarid Jurnal hukum Islam. Yogyakarta:
Jurusan Syari’ah FIAI UII.
Abu Ishaq asy-Syairazi. tt. al-Luma‘ fi Usul
al-Fiqh, cet. 1. Surabaya: Ahmad Bin Nabhan.
Admin. “Anggaran
Kinerja” dalam
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=7265& Itemid=62. accessed pada tanggal 27 Agustus
2009 18:03:47 GMT.
Admin. “Modus Korupsi”, dalam
Glenn A.Welsch.
1981. Budgeting Profit Planning and Control, fourth edition, .New Delhi:
prentice hall of India Private Limited.
H.A.Djazuli.
2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Harald Motzki.
2000. The Origin of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical
Schools, Leiden-Boston-Koln: Brill.
Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab, II.
Indonesia
Corruption Watch. 2006. Korupsi Anggaran. Materi Training. Jogjakarta
29 Agustus – 1 September.
Ida Bagus Putu Purbadharmaja. 2007. “Kajian Terhadap Fungsi Anggaran Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah”, dalam Buletin
Studi Ekonomi. Volume 12 Nomor 3.
Iskandar Siregar. “Menuju Era Transparansi Anggaran”. dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Menuju+Era+Tran sparansi+Anggaran&dn=20080627090126.
accessed 11 Agu 2009 15:44:38 GMT.
Iskandar Sonhadji, “Perilaku Korupsi Dan Dampaknya” http://www.nu- antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=198.
Diakses pada tanggal 22 Julil
2008 22:49:48 GMT.
Kompas, 25 Mei 2003.
Louis Ma’luf. 1973. al-Munjid fi al-Lugah wa
al-Adab wa al-‘Ulum, cet. 22 .Beirut:
Dar al-Masyriq.
Masodah, “ Penganggaran Perusahaan (Budgeting)”,. dalam http://www.google.co.id/search?hl=id&cr=countryID&q=related:masodah. staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/6633/Pp3.doc.
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi,alih bahasa Machnun Husain, cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995)
Nur Achmad
Affandi. 2005 “Hak Rakyat Atas APBD”, Kedaulatan Rakyat, 18 Pebruari.
Peter Mahmud Marzuki, 2006. Penelitian hukum,
Jakarta: Kencana.
Rahmani Timorita Yulianti. 2008. ”Korupsi: Problematika Dan Upaya Pemberantasannya.” dalam Al-Mawarid Jurnal Hukum Islam. Yogyakarta: Jurusan Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam UII.
Syahatah, HH. 2005. Suap Dan Korupsi Dalam Perspektif Syariah. Edisi terjemahan oleh K.A. Irsyadi, Jakarta: Amzah
Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syari’ah,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif: perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Winardi. 1983. Azas-azas
Manajemen, edisi ketujuh. Bandung: Penerbit Alumni.
[2]Indonesia Corruption Watch, Korupsi Anggaran, Materi Training Jogjakarta, 29 Agustus – 1
September 2006
[3]Modus korupsi anggaran yang lain seperti
anggaran bertumpuk (double budgeting),
misalnya dalam suatu anggaran terdapat
alokasi dana tunjangan kesejahteraan sebesar Rp 2 juta/orang per bulan. Tapi di
pos lain, muncul bentuk lain tunjangan pemeliharaan kesehatan sebesar Rp 467.275.000,-. Padahal, kedua item itu sebenarnya adalah
sama-sama sebagai asuransi kesehatan dalam bentuk jaminan. Sehingga telah
terjadi duplikasi atau pengulangan item anggaran untuk satu hal.
[5]Iskandar Siregar, “Menuju
Era Transparansi Anggaran”, dikutip dari http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Menuju+Era+Transparansi+Anggaran&dn=20080627090126.
accessed 11 Agu 2009 15:44:38 GMT
[6]Admin, “Penggelembungan Anggaran
Modus laten Korupsi” dikutip dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=88
[7]Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Tahun 2004 diberi nilai 2,0 (termasuk tertinggi di dunia). Berdasarkan survei
yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) bulan
Januari hingga Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden
, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. Selanjutnya
lihat M.Syamsa Ardisasmita (Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi
Pemberantasan Korupsi), Peran Transparansi Anggaran Dalam Pemberantasan
Korupsi, Training dilaksanakan oleh Forum Indonesia Untuk Transparansi
Anggaran, 12 Maret 2005.
[8]Admin, “Penggelembungan Anggaran
Modus laten Korupsi” dikutip dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=88
[15]Syed Nawab Haider Naqvi, 1994, Islam Economics and
Society, (London and New York: Kegan Paul International Ltd), hal. Xviii.
Lihat juga Yusuf Qardhawi, Norma Dan
Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), hal.31.
[16]Ibid., hal. 71.
[18]Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab,
II: 1119 dan; Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-Adab wa al-‘Ulum, cet.
22 (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hal. 591.
[19]Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Luma‘
fi Usul al-Fiqh, cet. 1 (Surabaya: Ahmad Bin Nabhan, t.t.), hal 12.
[20]Sehingga selain
cabang ilmu ini tidak dapat disebut dengan fiqh. Isma‘il, at-Tasy ri
‘., hal. 12.
[21]Syamsul Anwar, Hukum
Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
87-89.
[22]Ulama usul fiqh mendefinisikan istidlal
dengan “ alasan dan beralasan yang digunakan seorang mujtahidndalam menetapkan
hukum suatu masalah”. Alasan disini adalah dalil yang diambil dari al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan logika (ra’y). Lihat Abdul Azis Dahlan...(et al), Ensiklopedi Hukum Islam, cet.1
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 759.
[23]Penentuan hukum Islam yang diterapkan
dalam fiqh anggaran di sini menggunakan metode analisis hukum preskriptif. Analisis
tersebut bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen
dengan menggunakan metode pertingkatan hukum. Dalam hukum Islam sesungguhnya
terdiri atas norma-norma berjenjang ( bertingkat/berlapis). Di dalamnya
terdapat norma-norma yang dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu (1) peraturan
konkret, (2) asas-asas umum, dan (3) nilai-nilai dasar. Lihat Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools. (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2000). Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 22.
[24]Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan
larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan
(lihat Abdul Azis Dahlan...(et al), Ensiklopedi
Hukum Islam, cet.1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.1219.
[28]Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, surat
al-Mujadalah ayat 7, surat al-Isra' ayat 34 dan 36, surat al-Furqan ayat 16,
surat al-Ahzab ayat 15, dan surat al-Isra ayat 36.
[34]Administrator,”PengawasanPerspektifIslam”dikutipdari
http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=104&item=275.
accessed pada tanggal 6 Sep 2009 20:22:51 GMT.
0 komentar:
Posting Komentar