Jumat, 14 Januari 2011


SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
(ANTARA KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA DAN BADAN ARBITRASE SYARI’AH)
Oleh : Rahmani Timorita Yulianti, Dra.MAg[1]

           

I.                   Pendahuluan
            Lahirnya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama (PA) dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 huruf (!) UU No 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa, PA memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”.
Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran dari PA akan bertambah luas.Karena ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin ilmu ekonomi, sehingga para hakim di PA harus menguasai tentang ilmu ekonomi syariah disamping ilmu hukum formil yang dimiliki selama ini. Hal tersebut sangat rasional sebab ketika diimplementasikan UU tersebut dalam lingkungan PA masih ada para Hakim yang belum memahami dan mengetahui hukum ekonomi syariah. Selain itu implikasinya adalah
dalam klausal akad-akad pembiayaan bank syariah harus dilakukan  ratifikasi. Sehingga Bank Syariah tidak lagi menyebutkan Pengadilan Negeri (PN) sebagai tempat penselesaian perkara sengketa dalam bisnis syariah.Dalam hal ini Bank Syariah agar mengubah klausal akad-akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah selama ini.Sehingga mengenai ketentuan perkara dalam ekonomi syariah bisa diselesaikan melalui PA bukan PN sebagai eksekusinya.
            Tetapi  dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik tentang keberadaan Basyarnas (Badan Abritase Syariah Nasional) yang selama ini bertugas dalam menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi syaraiah. Apakah lembaga tersebut tetap eksis atau dibubarkan. Fenomena Abritase dengan keberadaan UU tersebut hingga kini masih dalam perdebatan yang sangat panjang.Bagi mereka yang sepakat tetap eksisnya Basyarnas mengusulkan sebuah mekanisme yang harus dibicarakan secara langsung kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga yang mendirikan Basyarnas. Dalam hal ini dapat dicontohkan seperti di negara Singapura yang masih dipertahankan meskipun dalam regulasi hukum telah ada peran PA di Singapura. Tetapi apakah hal itu bisa dalam implementasi UU No 3 tahun 2006? Dalam kerangka itulah tulisan ini mencoba mendiskusikan siapakah yang paling berkompeten atas sengketa ekonomi syari’ah antara Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syari’ah?

Sengketa Ekonomi Syari’ah
            Perkembangan ekonomi Islam  akhir-akhir ini begitu pesat. Dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasional. Dalam bentuk             kajian, ekonomi Islam telah di kembangkan di berbagai University, baik di negara-negara  muslim juga negara barat. Misalnya di Inggris ada beberapa university yang    telah mengembangkan kajian ini seperti University of Durham, University of            Portsmouth dan yang lainnya. Di Amerika sendiri dikaji di University of Harvard, bahkan Australia pun melakukan  hal yang sama di University of Wolongong.
            Di Indonesia perkembangan kajian dan praktek ilmu ekonomi          Islam juga berkembang pesat. Kajian-kajiannya sudah banyak diselenggarakan di   berbagai university negeri maupun  swasta. Sementara itu dalam bentuk prakteknya, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk perbankan dan lembaga-lembaga keuangan ekonomi Islam non bank. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan    momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem     perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana yang telah direvisi dalam  Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.[2]
              Ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia, yang berdampak goncangnya lembaga-lembaga perbankan yang berakhir pada likuidasi sejumlah bank konvensional, maka sebaliknya bank slam malah semakin berkembang. Kegagalan negara maupun pasar di Indonesia khususnya setelah 32 tahun masa orde baru berpuncak pada krisis moneter antara tahun  1997-1998, dapat dijadikan pelajaran yang berharga. Belum adanya Undang-Undang anti monopoli, maupun korupsi juga lemahnya birokrasi justru telah menciptakan  kegagalan pasar. Hal ini             mengakibatkan macetnya mesin pembangunan, angka pengangguran meningkat tajam dan otomatis kemiskinan membengkak. Peluang usaha telah dimanfaatkan usaha besar secara tidak        sehat hanya oleh kalangan the have yang punya relasi kuat pada penguasa saja. Karena umat Islam mayoritas, maka yang lebih banyak  menganggur dan miskin adalah umat Islam.
             Sampai dengan krisis ekonomi dan moneter akhir tahun 1997-1998, perekonomian Indonesia telah tumbuh rata-rata 7 persen per tahun. Bahkan hasil perekonomian dari   tahun 1990- 1998 pun sudah mencapai antara 7,3 - 8,2 persen. Tapi pasca krisis moneter pada tahun 1998 minus 13 persen. Namun keajaiban malah terjadi di bank               syariah pada tahun 1998.             Aset perbankan      syariah malah tumbuh pesat dengan rata-rata pencapaian 74 persen pertahun sampai pada tahun 2001. Ini merupakan tonggak dari         kebangkitan sistem ekonomi   Islam di dunia perbankan.[3]
                 Berawal dari tahun 1998 itulah perekonomian Islam di Indonesia mencapai kemajuan pesat dan penting (signifikan). Perbankan sebagai lembaga keuangan terpenting, memiliki posisi  strategis dalam perekonomian nasioanal. Dengan demikian, upaya pengembangan perbankan syariah perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kontribusinya     terhadap pembangunan ekonomi. Perbankan syariah harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan  perekonomian nasional.  Krisis yang terjadi telah membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah relatif dapat bertahan menghadapi gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut di topang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan  (gharar) dan              spekulatif (maysir).
            Perkembangan perbankan syariah, dari tahun ke tahun menunjukan kemajuan yang luar biasa. Aset lembaga keuangan syariah di  seluruh dunia diperkirakan              mencapai 230 miliar dollar AS. Pertumbuhannya mencapai 15 persen per tahun. Kehadirannya bukan hanya diterima di negara-negara Islam atau        berpenduduk masyarakat muslim, tapi juga sudah diterima di negara-negara non muslim juga. Di Indonesia sendiri pertumbuhannya mencapai hampir 50 persen per tahun. Bank Indonesia sendiri  memprediksikan bahwa tahun 2011 aset perbankan syariah akan mencapai  kurang  lebih Rp 171 triliun yang mana pendekatan pertumbuhannya hampir mencapai  27 persen. Statistik ini merupakan analisa dari laporan Gubernur Bank Indonesia di tahun  2005 yang menyatakan bahwa pertumbuhan bank syariah telah mencapai 50 persen. Ini merupakan hasil aset yang berjumlah Rp 15 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan total bank syariah di  Indonesia terhitung mencapai 93,54 persen       pertahun (2003-2004). Tahun 2005 mencapai Rp 16.55 triliun. [4]
            Untuk mendorong terciptanya perbankan nasional secara optimal diperlukan pemberdayaan seluruh potensi perbankan Indonesia termasuk perbankan yang melakukan       kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam perkembangannya perbankan syari’ah dan perkembangan lembaga keuangan syari’ah  lainnya memerlukan pengaturan kegiatan         operasional yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum. Dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain. Mengingat di masa sekarang dan masa depan kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.
            Dengan didukung perangkat hukum dan  peraturan perundang-undangan bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia, hal ini mendukung pula kokohnya pola hubungan antara LKS dengan nasabah yang didasarkan pada keinginan untuk  menegakkan system syariah. Pada dasarnya setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik. Dalam hal ini kontrak disebut juga akad atau perjanjian yaitu bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan menimbulkan akibat pada obyeknya.[5] Dalam pelaksanaan kontrak di LKS, sering terjadi perselisihan pendapat baik dalam penafsiran maupun dalam implementasi isi perjanjian. Persengketaan tersebut harus segera diantisipasi dengan cermat untuk menemukan solusi bagi pihak LKS maupun nasabah.
            Untuk mengantisipasi persengketaan ekonomi syari’ah yang terjadi di LKS, baik masyarakat, Lembaga Keuangan Syariah baik Bank maupun non Bank, serta para pengguna jasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah. Karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara  berbeda. Sebelum diberlakukannya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah tersebut diselesaikan oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia  (BAMUI) yang kini namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia  dan Majelis Ulama Indonesia.[6] Tetapi setelah diundangkannya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentan perubahan Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kompetensi absolute Pengadilan Agama ditambah dengan penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah. Hal tersebut menjadi sebuah polemik di tengah masyarakat, mengingat fenomena BASYARNAS masih berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
                       
Kompetensi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
            Pada tahun 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang BASYARNAS[7] dibentuk sebagai salah satu upaya untuk melakukan penyelesaian sengketa di bidang mu’amalat khususnya perekonomian syariah. Berdirinya BAMUI ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan hukum mu’amalah oleh LKS yang pada waktu itu telah berdiri.
                  Meskipun telah ada lembaga peradilan, sering kali lembaga arbitrase menjadi alternatif untuk menyelesaikan suatu sengketa. Terdapat alasan-alasan yang dikemukakan oleh Wahyu Wiryono dan Mariam Darus Badrul-zaman  atas kelebihan arbitrase adalah sebagai berikut:[8]
Prosedur tidak berbelit dan keputusan dicapai dalam waktu relative singkat
Biaya lebih murah
Dapat dihindari ekspose dari keputusan di didepan umum
Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih kekeluargaan
Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase
Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter
Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya
Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
keputusan arbitrase umumnya final binding (tanpa harus naik banding atau kasasi)
Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan  dan dieksekusi oleh pengadilan
Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.

Adapun kekurangan arbitrase adalah sebagai berikut:
Kemungkinan hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide
Kurangnya unsur finality
Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain
Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan
Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif
Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga
                karena  unsure fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak                        predektif
Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase
Sedangkan dasar hukum arbitrase adalah sebagai berikut:
Jika di antara orang-orang beriman terjadi perselisihan / bertengkar / bersengketa, maka damaikanlah mereka (QS.Al Hujurat : 9)
Jika kamu lihat ada persengketaan antara keduanya maka utus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan (untuk mendamaikan) Jika kedua hakam tersebut sungguh-sungguh memperbaiki niscaya Allah memberi taufik kepada mereka (QS. An Nisa’ : 35 )
Dianggap belum beriman kecuali mereka telah menunjuk kamu sebagai hakam terhadap sengketa mereka. Mereka harus sepakat dan dengan sukarela mentaati keputusanmu (Sebagai hakam). (QS.An Nisa’: 65 )
Pasal 1338 KUHP, Sistem hukum terbuka yaitu:
               “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai 
      undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat                       ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
               alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus
               dilaksanakan dengan baik”
               Dari ketentuan pasal tersebut, seluruh pakar hukum sepakat menyimpulkan
      bahwa dalam hal hukum perjanjian, hukum positif (hukum yang berlaku) di
      Indonesia menganut system “terbuka”.[9]
Pasal 14 UU No.14 tahun 1970
               Sejalan dengan berlakunya system atau asas tersebut, pasal 14 UU No.14 tahun
 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk melakukan usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
      Dari ketentuan yang termaktub dalam pasal 14 ayat (2) tersebut jelas keberadaan “lembaga yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi di antara dua pihak yang mengadakan perjanjian “, sepanjang hal itu disetujui oleh kedua belah pihak, secara sah diakui di negara Indonesia. Dalam praktek “lembaga” yang dimaksud ada yang menamakannya “peradilan wasit” atau “wasit” saja dan ada pula yang menamakan “Badan Arbitrase”
Pactum de Compromittendo
               Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 615 RV, penetapan, penunjukan, atau pengangkatan “wasit” dapat dilakukan oleh para pihak yang berselisih sesudah selisih atau sengketa itu terjadi. Akan tetapi penunjukan itu dapat pula ditetapkan di dalam perjanjian bahwa apabila dikemudian hari terjadi perselisihan atau persengketaan di antara keduabelah pihak,keduabelah pihak telah menetapkan wasit yang diminta untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut. Dengan demikian dalam hal yang tersebut terakhir ini para pihak telah menetapkan seseorang atau sesuatu badan “wasit” untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Di dalam praktek maupun menurut ilmu hukum, cara pertama disebut “akta kompromi”, sedangkan cara kedua disebut “pactum de compromittendo” [10]




Kesiapan Pengadilan Agama
            Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya Undang-undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.       Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi aparatur peradilan agama, terutama hakim. Para hakim dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit --hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas.[11] Keniscayaan hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar, res judikata pro veriate habetur. Sejalan dengan itu, setiap hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah. Memang, para hakim pengadilan agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, pengadilan agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syariah, maka wawasan yang dimilikinya pun tentu masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya.Paling tidak, ada beberapa hal penting yang menjadi ′pekerjaan rumah′ para hakim pengadilan agama terkait perluasan kewenangannya dalam menangani sengketa perekonomian syariah. Pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah.Ketiga, para hakim agama juga perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam.[12]
            Perekonomian berbasis syariah harus diakui telah mengalami perkembangan pesat dan menggembirakan. Sejak Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri dan mulai beroperasi pada1 Mei 1992, pertumbuhan perbankan syariah meningkat tajam. Dari satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada 1998 menjadi tiga bank umum syariah dan 17 bank umum yang membuka unit usaha syariah dengan 163 kantor cabang, 85 kantor cabang pembantu, dan 136 kantor kas, serta 90 BPRS pada akhir 2005.[13] Kontribusi industri keuangan syariah memang masih kecil dibanding dominasi konvensional. Namun, tak bisa dipungkiri, tingkat pertumbuhannya amat pesat, dan terbukti tetap eksis kendati dihantam krisis moneter, beberapa tahun ke belakang. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting,diproyeksikan bahwa total asset bank syariah di Indonesia akan tumbuh sebesar 2850 % selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 356.25 % tiap tahunnya.[14]  Yang juga cukup menggembirakan, ragam bisnis berbasis ekonomi syariah pun bertambah luas. Bukan hanya bidang perbankan, tapi juga memasuki wilayah asuransi, pasar modal, saham, pegadaian, dan lain-lain. Menilik kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum menjadi penting diupayakan keberadaannya. Dalam hal implementasi, para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara bank dan nasabah. Bila terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikan secara musyawarah. Meski demikian, masih ada kemungkinan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan seperti ini kian besar, terlebih dalam kehidupan dunia ekonomi syariah yang kian beragam.
            Sebelum amandemen UU Peradilan Agama, kasus sengketa keuangan syariah tidak bisa diselesaikan di pengadilan agama. Yang menjadi sebab, karena wewenang pengadilan agama telah dibatasi UU No 7 Tahun 1989 tadi, yang hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah. Artinya, pengadilan agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Di sisi lain, pengadilan negeri juga tidak pas untuk menangani kasus sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama, memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Namun ini pun, harus melalui kesepakatan kedua belah pihak terlebih dulu. Kalau nasabah tidak sepakat, tentu kasus sengketa itu tidak bisa dibawa ke Basyarnas.
            Barangkali, itulah sebabnya para ulama, pengamat, dan praktisi perekonomian syariah mendesak pentingnya amandemen UU No 7 Tahun 1989. Tujuannya, agar sengketa perekonomian syariah bisa ditangani oleh peradilan agama. Sebelum amandemen, memang kerap terjadi kebingungan. Dibawa ke lembaga peradilan umum tidak tepat, dibawa ke peradilann agama juga tidak berwenang. Karena itu, wajar bila berbagai pihak menyambut baik langkah pemerintah mengamandemen UU No 7 Tahun 1989, dengan memperluas kewenangan peradilan agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah di luar bidang yang telah ada selama ini.
            Pesatnya bisnis berbasis ekonomi syariah dan perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa di dalamnya, memberi konsekuensi tersendiri bagi pengadilan agama. Selain harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syariah, para hakim juga dituntut lebih responsif terhadap perkembangan manajemen peradilan yang lebih modern.Selain itu, peradilan agama juga harus tampil bersih, transparan, akuntabel, dan bisa memenuhi rasa keadilan serta kebenaran. Dengan penambahan sejumlah bidang yang menjadi kewenangan dalam UU Peradilan Agama yang baru tersebut, diharapkan praktik-praktik umat Islam yang selama ini sudah berjalan di masyarakat mempunyai kekuatan yuridis. Dengan demikian, jika terjadi sengketa ekonomi syari’ah antara para pihak yang beragama Islam bisa dilakukan pencarian keadilan melalui lembaga peradilan agama.
            Satu hal lagi, yang kini diharapkan para pelaku perbankan syariah, adalah UU Perbankan Syariah. Berbagai kalangan juga mendesak agar RUU Perbankan Syariah segera disahkan menjadi Undang Undang. Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Tanpa Undang-Undang Perbankan Syariah, maka sosialisasi dan pengembangan di daerah dinilai banyak pihak kurang efektif.
Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur Undang-undang Arbitrase
            Kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ternyata tidak mudah direalisasikan. UU No. 30 Tahun 1999 membatasi kompetensi pengadilan agama. Terdapat pendapat yang merespon kehadiran UU nomor 3 tahun 2006 tersebut, bahwa  pengadilan agama (PA) tidak berwenang sebagai lembaga eksekutorial terhadap putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal ini sesuai dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa, yang berwenang menjadi lembaga eksekutorial adalah Pengadilan Negeri.[15] Selanjutnya dalam  Pasal 61 UU No. 30/ 1999 dinyatakan, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Ketentuan ini berlaku bagi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Basyarnas dan lembaga arbitrase lainnya. Baik yang kelembagaan maupun arbiter individual.[16]
            Selain langsung memanfaatkan PA, masyarakat memang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui jalur non-litigasi melalui Basyarnas. Praktiknya, putusan Basyarnas itu selanjutnya harus mendapat penetapan dan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri, bukan Ketua PA.          Respon lain berpendapat bahwa dalam masalah seperti ini, UU No. 30/ 1999 sekarang sudah tidak bisa diberlakukan karena UU No. 30/1999 adalah lex generalis, sedangkan UU No. 3/ 2006 itu lex specialis
            Pendapat tersebut didasarkan pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di situ dinyatakan, ”Salah satu wewenang PA adalah menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah”. Yang termasuk bidang ekonomi syariah tak hanya perbankan syariah, tapi juga lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah dan banyak bidang lainnya. Pendapat tersebut direspon positif dari berbagai kalangan terutama dari pihak Basyarnas, bahkan mengusulkan kelak ada pengadilan niaga syariah yang khusus menangani masalah kepailitan yang menghimpit perbankan dan lembaga ekonomi syariah. Selain itu  MA perlu membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) soal wewenang PA dalam mengeksekusi putusan Basyarnas. Menurut penulis  paling tidak ada dua hal yang direkomendasikan kepada MA. Pertama, agar MA membuat Perma soal wewenang PA dalam mengeksekusi putusan Basyarnas. Kedua, agar perkara ekonomi syariah nanti diselesaikan tidak lebih dari 180 hari.Ketiga perlu disiapkan hukum materiil maupun formil mengenai ekonomi syariah.

 Mencari Peradilan yang Kompeten
            Penggodokan RUU Perbankan Syariah masih juga belum rampung. Terakhir, saat rapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Daerah, peradilan mana yang nanti berwenang menyelesaikan persoalan perbankan syariah menjadi bahan pembahasan yang alot. Anggota DPD ada yang mengingatkan bahwa pengadilan agama hanya diperuntukkan bagi orang Islam. Kompetensi peradilan agama yang sangat terbatas tersebut menjadi tidak efektif lantaran pelaku perbankan syariah juga berasal dari kalangan non-muslim. Dari pihak Deputi Gubernur Bank Indonesia juga belum punya argumen yang memadai. Bahkan wacana yang merebak terdapat usulan  agar masyarakat bisa memilih penyelesaian perkara di peradilan agama atau peradilan umum.
            Dalam merespon UU No 3 tahun 2006 inipun, RUU Perbankan Syariah telah memetakan persoalan perbankan syariah menjadi dua, yaitu perdata dan pidana. Namun, RUU tersebut tidak menjelaskan pengadilan mana yang berhak menanganinya. Hal tersebut memunculkan persoalan apakah hal itu berarti mutlak menjadi wewenang pengadilan agama atau juga pengadilan umum?
            Merujuk pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, persoalan ekonomi syariah memang menjadi kompetensi pengadilan agama. Namun, UU itu sejatinya hanya berkutat di wilayah perdata. Sekalipun pasal 3A UU Peradilan Agama menggariskan adanya kemungkinan diadakan pengkhususan pengadilan, termasuk dalam ranah pidana, tetapi hal itu hanya berlaku untuk pengadilan syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
            Persoalan lainnya, UU Peradilan Agama biasanya disalah-tafsirkkan hanya diperuntukkan bagi orang Islam. Padahal, penjelasan pasal 49 UU Peradilan Agama menyatakan, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Sehingga sepanjang menyangkut persoalan perdata, sengketa perbankan syariah harus tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama.Sedangkan persoalan yang menyangkut persoalan pidana, maka pengadilan umum yang menyelesaikannya.Dalam hal ini dapat dipahami  kalau sudah mengadakan akad syariah, maka pihak non-muslim harus tunduk pada UU yang ada.Hal itu berarti mereka telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Analoginya seperti kaum Tionghoa dulu yang harus tunduk pada BW, meskipun sebenarnya dia tidak termasuk pribumi.
             Dalam konteks ini, ada dua azas yang berlaku, yaitu azas personalitas dan azas penundukan diri. Azas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam. Sedangkan azas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dengan non-Islam. Dari segi historical background, sejak UU Peradilan Agama yang baru disahkan, pengadilan agama bisa meng-cover perkara perdata dan pidana. Tetapi tidak  semua perkara pidana yang bisa dicakup. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan memberi contoh penerapannya di Aceh. Mahkamah Syar’iyah di sana dapat menyidangkan perkara pidana, sepanjang sudah diatur di Qonun, seperti judi, khalwat, atau maysir. Untuk perkara pidana dalam dunia perbankan syariah, tidak ada Qonun-nya berarti itu jadi kewenangannya peradilan umum.[17]
                       
Penutup
            Dari paparan di atas terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Menurut data Bank Indonesia bulan Mei 2005, perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah.
 Jika terjadi perselisihan antara para pihak,selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3/2006 tentang Peradilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan UU No 3/2006.
 Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasioal (Basyarnas), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Keharusan ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UU No.3/2006. Tetapi setelah keluarnya UU tersebut, harus dibuka peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk mengadilinya. Sering pula ditemukan redaksi akad yang membuka dualisme hukum yang sangat menyesatkan. Terdapat  bank-bank syariah yang menyebutkan dalam akadnya, bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase syariah atau pengadilan negeri. Hal ini menyesatkan, karena pilihan tersebut harus tegas, apakah arbitrase atau pengadilan negeri. Dengan keluarnya UU No 3/2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
 Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah masalah eksekusi. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh pengadilan negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 3/2006. Dengan kata lain, Undang-Undang Arbitrase harus diamandemen.
Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta merta kehilangan peran, sebab jika para pihak memilih badan ini menyelesaikan kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga arbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 3/2006. Tetapi, setelah Undang-Undang No3/2006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Arbitrase.
Terdapat masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian. Pertama, jika terjadi sengketa di bidang ekonomi syariah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi (dikunci) hanya oleh lembaga arbitrase syariah (Basyarnas). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbitrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ketiga, Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan umum atau Badan Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar kedua UU tersebut sinkron dan tidak bertentangan Keempat, dengan disahkannya UU No.3/2006 ini, maka semua perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikan (diamandemen), walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. UU yang perlu dimandemen tersebut antara lain : 1. Undang-Undang Arbitrase, 2. Undang-Undang Pasar Modal, 3. Undang-Undang tentang Asuransi, 4. Undang-Undang tentang Pegadaian, 5. Undang-Undang No 17/2000 tentang PPn, dsb. 6. Undang-Undang Resi Gudang,dsb Kelima, diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, Warisan dan Waqaf. KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam (muamalah).
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenul, 1999, Memahami Bank Syari’ah Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : Alvabet.

 Ahmad Abu Al Fath, 1913,Kitab al-Mu’amalat fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-          Qawanin al-Misriyyah,Matba’ah al-Busfur, Mesir

 Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 1964,Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir

Adiwarman Karim,2003,Bank Islam Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: The      International, Institute of Islamic Thought Indonesia

Gemala Dewi dkk,2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet ke-2,Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu social, “Fenomena”, vol 01 no.02, Yogyakarta, September       2003

Muhammad Syafi’i Antonio,2001, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema      Insani Press

Mariam Darus Badrulzaman,1994,”Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum             Nasional “, dalam Abdul Rahman Saleh, et.al, Arbitrase Islam Indonesia, Jakarta:       BAMUI kerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia
            Muhaemin,2006,”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi            Syari’ah”, dalam Republika On Line,diakses tgl 17 maret 2006

Salim H.S,2006,Hukum Kontrak, cet.ke-4,Jakarta: Sinar Grafika

Wahyu Wiryono,2006,Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah,makalah dalam Pelatihan       Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama,tanggal 8 Juli          2006, di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

http://bantenlink.com/Kolom01.html yang direkam pada 21 Okt 2007 22:46:44 GMT

http://202.78.195.82//artikel/31635.shtml

Hitti, Philip K, 1970, History of the Arabs, London : Macmillan Press
Sou’yb, Yoesoef, 1977, Daulat Umayah Di Cordova, Jakarta: Bulan Bintang
Yatim, Badri, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada



[1]Penulis adalah  Dosen tetap FIAI UII Program Studi Ekonomi Islam, Ketua Devisi Kajian Gender Pusat Studi Islam (PSI) UII, sekarang sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2] Wahyu Wiryono,2006,Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah,makalah dalam Pelatihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama,tanggal 8 Juli 2006, di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[3] http://bantenlink.com/Kolom01.html yang direkam pada 21 Okt 2007 22:46:44 GMT
[4] Ibid,.
[5] Ahmad Abu Al Fath, 1913,Kitab al-Mu’amalat fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Misriyyah,Matba’ah al-Busfur, Mesir, lihat juga Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 1964,Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir, hlm.4
[6] Muhammad Syafi’i Antonio,2001, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,hlm.214
[7] Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (UU No.30 tahun 1999), sedangkan perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah terjadi sengketa.
[8] Mariam Darus Badrulzaman,1994,”Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional “, dalam Abdul Rahman Saleh, et.al, Arbitrase Islam Indonesia, Jakarta: BAMUI kerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia,hlm.58-60, lihat juga Wahyu Wiryono,2006, Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah, makalah diberikan pada Pelatihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama, tanggal 8 Juli 2006, di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[9] Artinya setiap orang bebas untuk  membuat perjanjian apa dan bagaimanapun juga, sepanjang pembuatannya dilakukan sesuai dengan undang-undang dan isinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan. Termasuk dalam pengertian “bebas” disini tidak saja yang menyangkut “bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang terjadi atau mungkin dapat terjadi”

[10] Muhammad Syafi’I Antonio,2001, Bank Syari’ah……..hlm. 214-216, lihat juga M.Tabroni.AZ, 2007,Mediasi dan Arbitrasi, makalah disampaikan pada Pelatihan Kontraktual Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia
[11] Undang-undang Pokok Kehakiman no 14 tahun 1970 pasal 14 ayat (1)
[12] Muhaemin,2006,”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi Syari’ah”, dalam Republika On Line,diakses tgl 17 maret 2006
[13] Ibid,.
[14] Adiwarman Karim,2003,Bank Islam Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: The International, Institute of Islamic Thought Indonesia, hlm. 29
[15] UU No.30 Tahun  1999, Bab VI tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Pasal 59ayat  (1) “ Dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri”. Sedangkan Pasal 59 ayat  (4) berbunyi “ Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
[16] M.Tabroni.AZ, 2007,“Mediasi Dan Arbitrase” , makalah disampaikan pada Pelatihan Kontrak Bisnis Syari’ah oleh Magister Studi Islam UII Yogyakarta,
[17] Sumber: http://202.78.195.82//artikel/31635.shtml

0 komentar:

Posting Komentar