Jumat, 14 Januari 2011


KORUPSI: PROBLEMATIKA dan UPAYA PEMBERANTASANNYA
Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti[1]
Abstract
Artikel ini berupaya mendiskusikan perilaku korupsi yang sangat problematis dan mempunyai dampak hampir di semua lini kehidupan masyarakat Indonesia. Perilaku korupsi tersebut, semakin subur dan seakan sulit untuk diberantas, karena korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara Indonesia, akan tetapi peran tersebut tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi. Sehingga diperlukan adanya perombakan sistem hukum dan  sistem penegakan hukum dalam rangka merespon fenomena korupsi yang kronis di Indonesia sebagai upaya pemberantasannya.
Kata kunci: Korupsi, Dampak, Problematika, Pemberantasan

I.       Pendahuluan
            Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik di tingkat pusat sampai daerah, merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan Indonesia. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka? Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
            Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi di kalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat Indonesia sendiri. Masa itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya.
             Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
            Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara Indonesia, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini.
             Belakangan ini, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif.
            Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan sampai upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga dengan demikian, masyarakat kian lupa dengan faktor utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja”. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.
            Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, di  mana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan.   Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
            Pada sisi lain, secara sosiologis dapat  dianalisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur di kalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan sosial yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang.           Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan di tengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
            Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan di kalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara Indonesia.
            Fenomena tersebut juga telah menjadi agenda penting selama pemerintahan SBY, yang diawali dengan perasaan tertampar muka Presiden SBY akibat sorotan mata 20 delegasi APEC di Santiago bulan November 2004, yang langsung mengarah kepadanya pada saat forum mengupas tentang korupsi.[2] Selain itu, rakyat Indonesia menunggu sikap ksatria para pemimpin yang korup dan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) seperti yang ditunjukkan oleh pemimpin pemerintahan Korea Selatan, Presiden Chun Do Hwan dan kroninya.[3] Tidak diadilinya koruptor politik di Indonesia telah menjadi beban ekonomi dan biaya politik yang tinggi bagi bangsa Indonesia.
            Tulisan ini berusaha mendiskusikan problematika korupsi serta upaya pemberantasan dan tawaran solusi atas fenomena korupsi di Indonesia.

II.    Perilaku Korupsi dan Dampaknya
   Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian terstruktur sudah tidak terbantahkan lagi. Ada cukup banyak bukti yang bisa diajukan untuk memperlihatkan bahwa korupsi terjadi dari pagi hingga tengah malam, dari mulai soal pengurusan akta kelahiran hingga kelak nanti pengurusan tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah pendidikan, dari mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan.
            Sulit untuk mengingkari, korupsi sudah bersifat endemik, bekerja secara sistematis, menggerogoti birokrasi kekuasaan dan menghancurkan kepercayaan publik pada pemerintahan di Indonesia. Ada cukup banyak fakta, laporan, pernyataan, hasil riset dan statistik serta penilaian dari berbagai pihak yang dapat digunakan untuk mendukung peryataan di atas. Pendeknya, kita begitu pandai memperlihatkan berbagai soal yang menyangkut masalah korupsi, namun sedikit hasil yang menunjukkan para pelaku korupsi sudah diproses sesuai dengan hukum dan mendapatkan hukuman setimpal.
            Hal ini dapat dilihat dalam laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu tentang potret situasi penegakan hukum dan korupsi di sepanjang tahun 2004 telah secara tegas memperlihatkan problem penegakan hukum, khususnya pada kasus korupsi. Untuk kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), ada sekitar 60 orang yang potensial menjadi tersangka, baru 16 orang yang diajukan dan diperiksa di pengadilan, 26 orang masih diperiksa pada tahap penyelidikan, 6 orang tersangka lainnya dalam tahap penyidikan dan 12 tersangka sudah dihentikan proses penyidikannya.[4]
            Sementara itu, dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa di kejaksaan ada sekitar 14 kasus korupsi yang masih mengendap atau bisa juga disebut posisi perkara dimaksud tidak begitu jelas serta ada sekitar 40 tersangka korupsi yang mendapatkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Lebih mengerikan lagi, di tahun 2004 ada sekitar 56 terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan yang terdiri dari 23 kasus korupsi DPRD, 12 kasus korupsi daerah non-DPRD, 12 kasus perbankan, 2 kasus Bulog dan 7 kasus korupsi lainnya. Selain itu, ada sekitar 28 tersangka korupsi kabur di sepanjang tahun 2004.[5]
a)      Dampak Ekonomi
            Dalam perspektif ekonomi ada beberapa dampak korupsi yang bisa diajukan, antara lain sebagai berikut:
            Pertama, terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya tinggi ekonomi, akhirnya beban keseluruhan itu biasanya harus ditanggung oleh konsumen;
            Kedua, terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumberdaya dan dana pembangunan, karena hanya elit kekuasaan dan para pemilik modal saja yang bisa mengaksesnya;
            Ketiga, terjadinya inefektifitas dan inifisiensi pada birokrasi pemerintahan karena insentif menyebabkan watak birokrasi pemerintahan tidak efektif. Mereka tidak punya sensitifitas untuk melayani kepentingan publik dan selalu mencari rente bagi kepentingan sendiri atas kewajiban yang seharusnya dilakukan. Pada akhirya, insentif ini akan berujung pada inefisiensi dan perubahan watak pelayanan birokrasi;
            Keempat, terjadinya penurunan tingkat investasi modal sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
Akibat lebih lanjut, investor banyak yang tidak tertarik menanamkan modalnya di negara yang angka korupsinya tinggi. Korupsi menyebabkan ketidakpastian berusaha yang secara diametral bertentangan dengan prinsip bisnis yang menginginkan kepastian di dalam berusaha. Dampak langsung dari uraian di atas, petumbuhan ekonomi akan stagnan dan kemiskinan menjadi kian absolut serta meluas.[6]
b)      Dampak Sosial
            Dalam konteks sosial, dampak korupsi menimbulkan problematik yang sangat besar. Yang jelas, korupsi berdampak pada merosotnya investasi pada human capital dan bahkan korupsi menghancurkannya. Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah kompetensinya sehingga masyarakat menjadi tidak profesional dan tidak mampu berkompetisi secara dinamis dengan berbagai sumberdaya manusia dari negara lain.
            Masyarakat juga menjadi kian permisif pada tindak korupsi. Korupsi dianggap sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses-proses ekonomi dan politik. Sikap dan perilaku kolusif dan koruptif itu pada akhirnya akan meniadakan etos kompetisi secara sehat, makin memperkuat hubungan patron-client, siapa yang berkuasa dan mempunyai uang bisa mengatur segalanya, kesenjangan antarkelompok sosial kian melebar dan melembaga sehingga menciptakan kerawanan sosial.
            Rusaknya mutu infrastruktur transportasi dan komunikasi tidak hanya menyebabkan mobilitas penduduk menjadi merosot, tetapi juga potensial menyebabkan kerawanan sosial lainnya. Begitu juga dengan angka kemiskinan yang kian meningkat karena macetnya pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh luas pada stabilitas sosial dan politik.[7]

c)      Dampak Politik
            Terjadinya distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung. Karena para wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Karena itu, elit dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan sinyalemen yang diajukan ICW, kini, tengah terjadi, korupsi oligarki ke korupsi multipartai dan situasi ini menjadi faktor penghambat utama proses reformasi untuk keluar dari krisis multidemensi.
Fakta di atas membuat lembaga legislatif menjadi tidak kredibel dan rakyat menjadi distrust. Karena itu, tidaklah mengherankan bila ada banyak kasus yang sulit dibantah, ada dugaan terjadinya politik uang pada berbagai pemilihan kepala daerah.
            Berbagai kasus di atas menunjukan beberapa hal lain yang selalu menyertai isu korupsi, yaitu: adanya proses "tarik-menarik" kepentingan antara elit partai di pusat dan kepentingan elit partai di daerah, proses pembelajaran politik di dalam mengelola konsolidasi partai, tiadanya kewenangan yang tidak jelas antara pusat dan daerah serta sejauhmana mekanisme kontrol terhadap penggunaan kewenangan bisa dilakukan. Dalam sisi inilah, argumen Klitgaard[8] untuk mengatur otoritas, diskresi dan akuntabilitas secara jelas dan tegas menjadi relevan.
            Secara keseluruhan, di dalam perspektif politik, korupsi mendistorsi proses-proses politik, menggantikan kebijakan yang berfokus pada persaingan politik dengan hubungan pelindung-klien. Dampak utama lain dari proses di atas, berbagai kebijakan yang dihasilkan lembaga politik akan kehilangan moralitasnya, tidak berpihak pada daulat rakyat dan rakyat kian tidak percaya pada proses politik. Pada titik ini, kisruh dan rusuh akan kian meningkat, distabilitas makin meluas dan kekuasaan tinggal menunggu saat untuk dilengserkan.

d)      Dampak Hukum
            Dalam konteks hukum, dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga penegak hukum. Karena itu tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai oleh masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka. Lembaga peradilan terus menerus mendapat tekanan dan cemoohan dari publik, karena justru membebaskan para koruptor, memberi peluang untuk tidak diperiksa hanya dengan alasan kesehatan, diperiksa di pengadilan tanpa hadirnya terdakwa atau in absentia. Pendeknya hukum dituding menjadi diskriminatif dan keadilan potensial "diperjual-belikan".
            Ketidakmampuan serta proses penegakan hukum menegakkan eksistensinya juga berdampak langsung pada peningkatan kecemasan masyarakat dan peningkatan angka kriminalitas. Nyawa manusia menjadi kian "murah' saja, karena hanya dengan ratusan ribu saja, orang rela melakukan tindak kriminal untuk membunuh orang lain. Akibat yang paling mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian pendapat yang muncul diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana.
            Hukum tidak lagi bersifat responsif, tetapi instrumen untuk memperluas kewenangan kekuasaan "memeras" rakyat atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Hukum dimaknai bekerja secara prosedural tetapi kehilangan makna substantif dan spiritualitasnya.
            Akibat lebih lanjut lainnya, judicial corruption[9] juga bisa berkaitan dengan proses investasi. Para investor banyak yang tidak mau mengambil resiko di bidang bisnis tanpa jaminan kepastian hukum. Kepastian itu tidak hanya di dalam relasinya dengan kepentingan kekuasaan saja dan berkaitan dengan perlindungan usaha atas proyek yang melibatkan pemerintahan, tetapi juga jaminan kepastian hukum bila terjadi sengketa dengan rekan bisnisnva maupun dengan para customer-nya.
            Begitu luas dampak korupsi karena terjadi pembiaran terhadap kejahatan korupsi, belum maksimalnya usaha serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi secara sistematik, baik itu pada pemerintahan Orde Baru (Orba) maupun saat setelah terjadinya reformasi. Baru kemudian presiden terpilih secara langsung menyatakan secara terbuka komitmennya untuk melakukan pemberantasan korupsi.




III. Problematika Korupsi
            Beberapa permasalahan yang mengakibatkan korupsi sulit dibasmi, antara lain; [10]
1)      Problem Birokrasi
            Pertama selama kekuasaan Orba, walaupun perekonomian waktu itu sedang booming dengan alasan pengamanan pembangunan, harga disubsidi, gaji ditekan tetapi penyimpangan yang berwujud tindakan korupsi dan kolusi dibiarkan, setelah ressesi negara tidak punya dana untuk menaikkan gaji sedangkan harga-harga telah melambung, pengawasan lemah, dengan dalih gaji tidak cukup maka korupsi semakin marak dan vulgar.
            Kedua karakter birokrasi kita bersifat feodal, tidak mau melayani tetapi justru minta dilayani, oleh karena itu dapat dikatakan tidak ada pelayanan yang gratis, hingga kemudian dikenal istilah "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah". Kondisi demikian membuat pengguna jasa birokrat harus mengeluarkan biaya ekstra kalau tidak ingin dipersulit
            Ketiga sistem pengawasan, dilakukan secara berjenjang dan tumpang tindih, rentang kendali menjadi panjang, tidak jelas tindak lanjut hasil pengawasannya, sehingga sulit dilakukkan evaluasi dan penindakan.
            Keempat sistem reward and punishment tidak dilakukan secara transparan sehingga pegawai yang sudah jelas melakukan kesalahan tidak jarang justru karirnya terus menanjak, bahkan ada pameo "kalau ingin karir lancar berbuatlah kesalahan".
            Kelima sistem rekrutmen yang tidak transparan membuka kemungkinan timbulnva kolusi dan nepotisme. Sistem tersebut hanya memberi peluang bagi calon yang bermotivasi mengembalikan modal yang dikeluarkan, akhirnya jabatan tidak dijadikan ajang pengabdian tetapi untuk mengambil keuntungan.

2)      Problem Hukum[11]
            Pertama bekaitan dengan aparat:
Selama ini banyak penegak hukum yang berpandangan legalistis formal sehingga dalam memeriksa dan memutus suatu pekara korupsi sering mengabaikan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Hal ini didukung kondisi solidaritas korps (esprit de corps) yang berlebihan di antara sesama aparat penegak hukum, jika terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan rekan seprofesi.          Sehingga tidak heran jika sedikit kasus KKN yang melibatkan aparat penegak hukum diselesaikan melalui mekanisme peradilan. Apalagi tidak ada mekanisme yang jelas terhadap pemberian sanksi kepada penegak hukum (hukumannya tidak membuat jera). Selain itu, juga tidak adanya mekanisme yang transparan untuk menguji produk hukum yang diduga hasil KKN.
            Kedua berkaitan dengan kelembagaan:
Perbedaan penafsiran tentang  siapa yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi masih sering terjadi. Hal ini disebabkan karena belum adanya kerjasama yang baik antara para penegak hukum. Begitu pula dalam penyidikan korupsi antara penegak hukum sering terjadi perbedaan penafsiran sehingga proses penyelesaian perkara korupsi menjadi lamban. Apalagi antara penyidik korupsi belum ada koordinasi yang baik sehingga terkesan saling menunggu dan tidak proaktif. Faktor penting lainnya adalah tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa.
            Ketiga problem kultur:
Budaya patronase yang dominan dalam masyarakat berpengaruh pada terjadinya korupsi. Budaya "tepo seliro", tenggang rasa yang tinggi mengakibatkan tidak tumbuhnya sikap kritis terhadap kondisi di lingkungannya. Ditunjang kondisi sikap masyarakat yang permisif menganggap tidak pantas menanyakan asal muasal "rezeki" orang di sekelilingnya. Selain hal tersebut, kentalnya budaya "sowan" dengan membawa upeti dianggap merupakan kewajiban bagi bawahan atau orang yang memerlukan jasanya. Dan sikap penghormatan yang salah tempat atau berlebihan dengan budaya eufemisme seperti menghaluskan (perbuatan minta uang sogok dengan diucapkan sebagai minta uang terima kasih).
            Keempat political will dari pemerintah:[12]
- Tidak adanya sikap tegas dari pemerintah untuk menindak pelaku korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.
- Tidak adanya sikap keteladanan dari pemerintah pejabat tinggi yang tersangkut korupsi harus sementara mengundurkan diri.
- Adanya keengganan pejabat tinggi untuk menyatakan menolak suap.

IV.  Upaya Hukum Pemberantasan Korupsi : Antara Mitos dan Realitas
            Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui[13] :             Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
            Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
            Ketiga, Membangun akses control dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
            Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum negara Indonesia dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum di negara Indonesia, jika pemerintah menginginkan penyelesaian kasus korupsi secara efektif.[14]
             Dalam hal pembenahan sistem hukum (legal system) dan sistem penegakan hukum (law enforcement). Dalam arti pula ideologi hukum harus diarahkan sesuai dengan struktur ruhaniah rakyat yaitu hukum harus memihak keadilan rakyat banyak. Tentang ideologi hukum, dengan mengutip David Trbubek dan John Esser, seorang penulis sosio-legal theory, Brian Z. Tamanaha  menulis bahwa, there are number of “legal ideologis”. These include the eliteproduction called legal doctrine and everyday understanding about law. Hence, when we speak of legal ideologi, we means views held in society abiut the nature and function  of law [15]
             Harus dihilangkan kesan dan fakta sosial bahwa hukum melindungi pejabat tinggi dan koruptor kakap. Budaya dengan stereotipe bahwa pejabat tinggi sulit diajukan sanksi hukum dan berada di atas  hukum harus dihilangkan. Harus dihilangkan  kebudayaan memberikan  SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan /Penuntutan) dan pemberian RD (Release and Dischard) bagi para pencoleng uang negara.[16]
            Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam kehidupan sehari-hari.
             Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.[17]

V.     Solusi Korupsi
            Akutnya korupsi di Indonesia telah menjadi hantu bagi idealisme calon pemimpin muda. Prosedur-prosedur kotor yang harus dilewati generasi muda dalam upaya menciptakan Indonesia Bersih semakin menegaskan bahwa niat baik memberangus korupsi masih demikian pelik dan rumit.
            Pada acara Dinner Lecture yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) pimpinan Ignas Kleden dengan tajuk ”Peradilan dan Demokrasi” menghadirkan Busyro Muqoddas (ketua Komisi Yudisial) dan Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi). Sebagai orang yang kompeten sekaligus praktisi di bidang hukum, keduanya menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di “bawah meja” pengadilan. Kreativitas mafia pengadilan dalam melakukan berbagai macam aksi diungkapkan dengan gamblang di hadapan peserta. Dalam makalahnya, Busyro menyampaikan kasus-kasus besar yang diloloskan oleh para hakim. Sedangkan Mahfud lebih detail membeberkan aneka ragam praktik korupsi di pengadilan. Ini sungguh keberanian luar biasa yang jarang ditemukan di Indonesia. [18]
            Bukan sebagai orang yang hanya mampu mengundang keprihatinan, kedua pakar ini pun memberikan solusi atas pemberantasan mafia pengadilan. Busyro menawarkan agenda reformasi peradilan (judiciary reform) yang intinya adalah mewujudkan sistem kekuasaan kehakiman melalui UU Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan kekuasaan kehakiman yang pro demokrasi. Melalui UU itu, kepentingan rakyat pencari keadilan akan terwakili dan terjamin. Tidak ada lagi kekecewaan akibat terbuainya para hakim pada uang sogok. Judiciary reform juga mengagendakan mekanisme rekruitmen hakim dan panitera secara meritokrasi dan transparan.
            Lebih keras menyerang pemerintah, Mahfud MD mengajukan tiga langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh (massive reform), baik dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Kedua, secepatnya memutus hubungan dengan persoalan-persoalan KKN yang ditancapkan Orde Baru. Ketiga, menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagai sistem rekruitmen politik yang demokratis dan terbuka.
            Jika diamati, solusi-solusi yang ditawarkan Busyro maupun Mahfud senantiasa mengacu pada titik yang sama, yakni pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Mereka berdua mengharapkan terjadinya cut black generation yang memungkinkan pembersihan korupsi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan melakukan misi tersebut? Jawabannya adalah generasi muda. Dapat  diketahui bahwa ketidakberhasilan agenda reformasi disebabkan masih terkuasainya kepemimpinan nasional oleh antek-antek Orde Baru, sehingga secara mental, penyelesaian masalah, dan pembagunan masyarakat, masih mengacu pada metode lama.
            Akibatnya, Indonesia tidak mengalami perubahan seperti yang dicita-citakan reformasi, bahkan lebih parah. Sebagai ukuran riil, dapat  dilihat angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin membengkak. Oleh karena itu, sudah saatnya angkatan muda yang disebut Fadjroel Rachman sebagai the rising generation[19] diberi kesempatan untuk mengawal gerakan memberangus korupsi beserta kepicikan birokrasi lainnya. Upaya ini diharapkan mampu menciptakan reformasi dalam arti sesungguhnya. Menciptakan “Indonesia Bersih” untuk menuju kemakmuran yang sebenar-benarnya.
            Setelah menemukan pelakunya, sekarang tinggal bagaimana cara memasukkan pelaku itu ke dalam sistem pemerintahan? Di sini lah peliknya pemberantasan korupsi. Pasalnya, jalur yang harus dilalui oleh angkatan muda adalah jalur politik yang telah tercemar oleh praktik korupsi. Mereka harus masuk dalam lingkaran sistem. Tanpa upaya ini, harapan untuk menciptakan “Indonesia Bersih” akan sia-sia belaka, karena kita tidak mungkin bisa berperan tanpa terlibat dalam pengambilan kebijakan serta mengetahui pelaksanaannya. Akses untuk mengetahui praktik-praktik korupsi hanya bisa didapat dengan kedudukan jabatan.
Mengapa hal ini disebut pelik? Tidak lain karena tingkat ketercemaran birokrasi terhadap korupsi sudah demikian akut.
            Bahkan banyak yang menyebut korupsi di Indonesia sebagai budaya yang hanya bisa ditumpas dalam jangka waktu sangat lama. Bayangkan saja, untuk mencapai jabatan politik tertentu, calon pemimpin diharuskan melalui prosedur-prosedur yang dikotori oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Prosedur-prosedur tersebut ibaratnya pagar betis yang telah dipenuhi ranjau-ranjau. Jika kita tak mampu menjinakkan ranjau, konsekuensinya adalah mati. Hal ini tentu saja menjadi ancaman serius bagi idealisme generasi muda sendiri. Seakan-akan hanya ada dua pilihan, kompromi atau mati. Itu saja. Tak ada pilihan lain.
            Begitulah, upaya menciptakan Indonesia Bersih tampaknya masih sangat rumit dan pelik karena birokrasi negara Indonesia sudah tercemar sedemikian hebatnya. Alih-alih membersihkan, mendekat saja sudah bisa tercemar. Yang menjadi tantangan besar saat ini adalah seberapa besar idealisme generasi muda setelah melalui jalur-jalur politik yang penuh resiko itu. Tercemar serta ikut menambah kotoran baru atau tetap bertahan dengan idealisme. Dan perlu diingat bahwa fakta-fakta yang telah disampaikan Busyro dan Mahfud jauh lebih pelik dari argumen ini.
            Terakhir yang harus dilakukan adalah merumuskan definisi operasional dari korupsi. Hal ini mencakup antara lain bentuk rinci dari tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan sanksi-sanksi yang kemungkinan dapat diterapkan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Rumusan semacam ini tidak saja dapat berfungsi sebagai panduan masyarakat  sehari-hari, tetapi juga sebagai referensi dalam perumusan undang-undang dan berbagai peraturan lain di bawahnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh dalam sebuah wawancara[20],  penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah hehamahua, pernah mengklaim bahwa sedikitnya 19 pasal di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  (UU Antikorupsi) adalah turunan langsung dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.[21] Terlepas sejauhmana klaim tersebut benar, yang jelas bahwa nilai Islam seharusnya menjadi inspirasi yang secara sungguh-sungguh dikaji dan di implementasikan.

VI.  Penutup
            Korupsi adalah persoalan krusial tidak saja karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga terbukti membawa dampak yang sangat merugikan bagi perekonomian dan masyarakat secara keseluruhan. Korupsi di Indonesia sudah merupakan korupsi sistemik yang telah merusak dalam mekanisme sistem politik yang bersifat luarbiasa jahatnya (extra ordinary crimes).         
            Sudah banyak Undang-undang dan lembaga baru yang dibuat dan dibentuk, namun perjalanan pemerintahan untuk keluar dari jeratan korupsi masih panjang dan sulit. Hal itu terlihat dari hasil survei Transparency International (TI) bahwa Indonesia termasuk sepuluh besar dari 100 negara terkorup di dunia.
            Di era politik-ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisasi, jika pemberantasan korupsi tidak berhasil maka dikhawatirkan hukum akan diarahkan oleh para pemilik modal untuk berpihak pada kepentingan pasar dan menjadi penopang penyelamatan modal yang ditanamnya. Ketika peradilan tunduk pada politik uang sehingga tidak mampu menyelesaikan konflik antara kecenderungan liberalisasi dan faham sosialisme sesuai konstitusi, maka dapat dipastikan kalangan masyarakat marjinal-lah yang kelak harus menjadi korban.
            Dengan demikian diperlukan adanya perombakan sistem hukum dan  sistem penegakan hukum dalam rangka merespon fenomena korupsi yang kronis di Indonesia. Penegakan hukum dalam kasus korupsi politik, selalu menuntut integritas lembaga penegakan hukum yang memiliki nyali baja.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Marhubi, F.A., 2000. ”Corruption and Inflation”, Economics Letters, vol.66      (2)

Ani Rufaidah,”Peliknya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”          http://simpuldemokrasi.com/simpul/?q=node/348. diakses pada tanggal 16            Okt 2008 07:58:31 GMT

 Asro Kamal Rokan, “Tak Perlu Lagi Kata-kata”  dalam Republika 8 Desember     2004

Artidjo Al Kostar, ”Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Penegakan   Hukum”, Dalam Jurnal UNISIA. No.55/XXVIII/I/2005

Dreher, A. dan T.Herzfeld, 2005. “ The Economic Costs of Corruption: a Survey     and new Evidence”, Public Economics

Herdiansyah, “Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia”    http://www.prp-            indonesia.org/Membongkar_Jejak_Sejarah_Budaya_Korupsi_di_Indonesi        a.html. diakses pada tanggal 13 Sep 2008 22:57:30 GMT.


Iskandar Sonhadji, “Perilaku Korupsi Dan Dampaknya” http://www.nu-       antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=198. Diakses pada tanggal 22 Julil 2008 22:49:48 GMT.

Joseph, Lawrence B., 1995, Crime, Communities, and Public Policy, Center for       Urban Research and  Policy Studies, The University of Chicago, Chicago:     University of Illinois Press

Lewis, M., 2006. “ Governance and Corruption iIn Public health Care Systems,”    Center For Global Development  Working Paper No. 78, Washington.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP.Muhammadiyah, 2006. Fikih Anti Korupsi:        Perspektif Ulama Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan            Peradaban

Seligson, M.A., 2002. ”The Impact of Corruption on Regime Legitimacy: A             Comparative Study of Four Latin American Countries”.Journal Of         Politics. Vol.64.

Shleifer, A. dan R.Vishny, 1993. “Corruption” Quarterly Journal of Economics.           Vol. 108 (3).

Syahatah, HH., 2005, Suap Dan Korupsi Dalam Perspektif  Syariah. Edisi    terjemahan oleh K.A. Irsyadi, Jakarta: Amzah

Tamanaha, Brian Z., 1997.Realistic Socio-legal Theory, Oxford University Press,        New York

Uslaner, E.M., 2004. “Trust And Corruption”, dalam J.G. Lambsdorf, M. Taube        dan M. Schramm (Ed.), Corruption and The New Institutional Economics.           London: Routledge.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0210/01/opi01.html. Gambar ini adalah     jepretan laman seperti yang ditampilkan pada tanggal 8 Sep 2008 13:43:43        GMT.


http://64.203.71.11/kompas-cetak/0306/21/utama/384282.htm. Gambar ini adalah       jepretan laman seperti yang ditampilkan pada tanggal 9 Sep 2008 07:46:33             GMT.
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1328. Gambar ini adalah jepretan laman seperti yang ditampilkan pada tanggal 13 Okt 2008 15:41:05 GMT

http://yuli-ahmada.blogspot.com/2006/10/islam-dan-pemberantasan-korupsi.html





                [1]Dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam  (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sekarang sedang menyelesaikan Program Doktor (S3)  Ekonomi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, E_mail: rahmani_ty@yahoo.com_(Tulisan ini diterbitkan di jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi XIX tahun 2008)
                [2]Lihat Asro Kamal Rokan, “Tak Perlu Lagi Kata-kata”  dalam Republika 8 Desember 2004, hlm.12.
                [3]Artidjo Al Kostar, Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Penegakan Hukum, Dalam Jurnal UNISIA. No.55/XXVIII/I/2005. hlm.46
            [4]Iskandar Sonhadji, “Perilaku Korupsi Dan Dampaknya” http://www.nu-antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=198. Diakses pada tanggal 22 Julil 2008 22:49:48 GMT.


                [5] Ibid.
                [6]Ibid.
            [7] Ibid

                [8]Ibid.
                [9]Ibid.
            [10]Herdiansyah, “Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia”           http://www.prp-indonesia.org/Membongkar_Jejak_Sejarah_Budaya_Korupsi_di_Indonesia.html. diakses pada tanggal 13 Sep 2008 22:57:30 GMT.

                [11] Ibid.
                [12]Ibid.
            [13]Ani Rufaidah,”Peliknya Pemberantasan Korupsi di Indonesiahttp://simpuldemokrasi.com/simpul/?q=node/348. diakses pada tanggal 16 Okt 2008 07:58:31 GMT

                [14] Ibid.
                [15]Tamanaha, Brian Z., 1997.Realistic Socio-legal Theory, Oxford University Press, New York, hlm.86.
                [16]Artidjo Al Kostar , Pemberantasan…hlm. 46
            [17] Herdiansyah, Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia. http://www.prp-indonesia.org/Membongkar_Jejak_Sejarah_Budaya_Korupsi_di_Indonesia.html.  pada tanggal 13 Sep 2008 22:57:30 GMT.

            [18]Any Rufaidah (Komite Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KKID) wilayah Malang, Solusi Korupsi, dikutip dari http://simpuldemokrasi.com/simpul/?q=node/348. diakses pada tanggal 16 Okt 2008 07:58:31 GMT


                [19] Ibid.
                [20] Akhmad Akbar Susamto dkk, Apa Yang Harus Dilakukan Ahli-ahli Ekonomi Islami Untuk Membantu Indonesia mengatasi Korupsi, dalam Journal Of Islamic Business And Economics. Volume  1, No 1, Desember 2007. hlm.79-80.
                [21]Di antaranya dapat diakses secara online melalui blog pribadi pewawancara, http://yuli-ahmada.blogspot.com/2006/10/islam-dan-pemberantasan-korupsi.html

0 komentar:

Posting Komentar